Minggu, 01 Juli 2018

SANG REMAJA TUA


Ada sebuah pepatah Arab, “… Fayā laita al-syabāb ya`ūdu yauman…” (Oh, semoga suatu hari aku kembali muda).[1] Dalam bahasa Arab, menurut para ahli Nahwu, kata “laita” adalah bentuk huruf yang bermakna pengharapan yang umumnya mustahil dapat terjadi[2].
Tak sadar. Banyak orang tak sadar bahwa Allah telah mengatur kehidupan, termasuk mengatur usia dan kondisi tubuh manusia. Ketika usia telah lanjut, sangat mustahil usia kembali muda, dan tubuh berkeriput dan layu, rambut pun beruban. Semua tak dapat dipertahankan. Betapapun seseorang merubah kulitnya dengan kulit plastik dan rambutnya dengan semir, tanda-tanda menua (sudah tua) tetap saja tak bisa dibohongi.
Ketika usia sudah lanjut, mata, pendengaran dan berbagai organ tubuh kita, tak bisa menipu orang lain. Semuanya akan nampak jelas tanda-tanda ke-tua-an.  Ini salah satu kebesaran Allah yang diperlihatkan kepada manusia untuk diinsafi bahwa manusia tak bisa melawan takdir yang sudah menjadi keputusan-Nya. Dengan demikian berharap kembali pada kehidupan masa lalu (masa muda) adalah suatu angan-angan yang sia-sia.
Manusia yang pandai adalah manusia yang selalu bercermin pada kehidupan masa lalunya, dan memperisapkan diri untuk kehidupan masa yang akan datang dan pasti.  Dunia dengan segala kemegahannya merupakan kemegahan yang semu. Tak ada satupun yang kekal di dalamnya. Kebendaan yang dimiliki oleh manusia hanyalah sementara yang kemudian akan hilang darinya. Kehidupan dunia yang diawali dengan kelahiran dan diakhiri dengan kematian pada prinsipnya perjalanan sejarah kehidupan setiap orang yang menentukan nasibnya di akhirat kelak.   
Di saat manusia  terjebak dengan kemewahan dunia, maka ia akan lalai terhadap akhirat. Kewajiban-kewajiban yang harus ia lakukan, semuanya dikesampingkan. Dalam benaknya yang terbayang  hanyalah kemewahan. Kemewahan dianggapnya dapat  mengabadikannya. Firman Allah, “…Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela, Yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung, dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengkekalkannya…” (QS. Al-Humazah [104]:1-3).
Melihat teks al-Qur'an di atas, orang yang mengumpat dan mencela disifati sebagai orang yang suka mengumpulkan dan menghitung-hitung harta. Orang yang mengumpulkan harta biasanya membanggakan kepandaiannya seraya mencela dan membicarakan kelemahan orang lain dengan harapan harta itu bisa berpindah tangan kepada dirinya. Ini merupakan illustrasi yang disampaikan Tuhan tentang keserakahan mereka yang memiliki karakter pengumpat dan pencela orang lain.
Ketika manusia menganggap bahwa harta dapat mengabadikannya, maka yang muncul dalam benaknya adalah “bagaimana memperbanyak harta”. Padahal dalam pandangan al-Qur'an, harta bukanlah tujuan, tapi sarana untuk tujuan itu, yaitu pengabdian kepada Allah. Dalam bahasa Islam, disebut mazra`at al-akhirat [3]
Islam tidak pernah melarang manusia untuk menjadi orang kaya dan berkecukupan. Sebab harta, menurut Imam Gazali dapat menjadi sarana untuk menyempurnakan ibadah seseorang. Sebagaimana ia katakan, “… walā yatimmu al-dīn illā bi al-dunya…” (Agama ini tidak akan sempurna kecuali dengan dunia)[4]
Di usia senja, manusia tidak lagi dapat menikmati dunia ini sebagaimana ketika ia masih muda. Hampir semua kondisi tubuhnya menjadi beban untuk dirinya sendiri. Bahkan prilakunya bagaikan kekanak-kanakan; ingin dimanja, makan disuapi dan mesti yang lembut serta rentan sakit karena salah makan, melangkah pun harus dituntun. Al-Qur'an mengomentari hal seperti ini, “… waman nu`ammirhu nunakkishu fi al-khalqi, afalā ya`qilūn…” (Dan barangsiapa yang Kami panjangkan umurnya niscaya Kami kembalikan dia kepada kejadian(nya). Maka apakah mereka tidak memikirkan? ) (QS. Yasin [36]: 68).
Menyadari hal itu, manusia diingatkan untuk lebih istiqomah dan sabar dalam menjalani kehidupan masa tuanya dengan beribadah kepada Allah. Walau kematian tidak mengenal usia, tetapi usia tua lebih dekat kepada kematian. Oleh karena itu, di usia tua semestinya manusia tidak perlu lagi serakah dan terpikat oleh duniawi, kecuali hanya sebatas untuk memperkuat fisiknya agar bisa menyempurnakan ibadahnya kepada Allah. 
Hasrat kembali muda, mestinya bukan pada fisik, tetapi harus pada semangat ibadah. Dengan semangat muda dalam beribadah akan memperkokoh keimanan dan ketakwaan bahkan menambah pahala. Pahala adalah nilai yang dapat mengantarkan manusia untuk berjumpa dengan Allah. Kerida’an-Nya merupakan tujuan akhir dari perjalanan hidup manusia yang penuh kenikmatan abadi.


[1]Al-Mudzakkirah al-Nahwiyah, Jil. 1, h. 265, (Maktabah Syamilah)
[2]Basa’ir Dzawi al-Tamyiz fi Lata’if al-Kitab al-`Aziz, Jil ke-1, hal 1391 (Maktabah Syamilah)
[3]Gazali, Ihya Ulum al-Din, (Bairut; Dar Fikri, tt), jil. 1, h. 11
[4] Gazali, Ihya, h. 17

"AKU"


Dulu “Aku” ada dan tak ada.  “Aku” dulu adalah makhluk yang melayang di angkasa,  alam ruhaniah. “Aku” adalah wujud dari bagian jagat raya yang diciptakan oleh Allah Rabbul 'Izzah, Tuhan Semesta. “Aku” bukan Tuhan, tapi “Aku” adalah kemahakuasaan dan kesempurnaan-Nya Yang Abadi. Bukan “Aku” yang maha sempurna, tapi Dia yang Maha Sempurna. “Aku” juga bagian dari mereka yang berawal dan berakhir, yang berawal dari tiada menjadi ada dan kembali tiada, hidup di alam ada, dan kembali ke alam ada yang kelak disaksikannya setelah “Aku” menemui kematian.
Tuhan menjelmakan “Aku” dengan sebait perjanjian, “… alastu birabbikum…” (“… bukankah Aku Tuhanmu…”). Lalu “Aku” menjawab, “… qōlū balā syahidnā…”, (tentu, Engkau Tuhan kami, kami bersaksi …”) (QS. Al-‘Araf [7]:172).  “Aku” mengikat perjanjian ruhani dengan Tuhan, sebuah perjanjian yang mutlak dikerjakan dan tak ada kepura-puraan dalam perjanjian itu dengan segala konsekuensinya.
Kemudian “Aku” dijelmakan dalam alam yang penuh dusta,  relatif, penuh interpretasi dan interpensi, sekaligus alam kebenaran dan kesaksian. Di sinilah “Aku” lalai, dan lalai pada ikatan perjanjian ruhani itu. Ikatan penjanjian antara “Aku” dengan Tuhan sering pudar dalam perjalanan hidupku. Tuhan adalah Tuhan yang mengetahui segala sisi “Aku”. “Aku” tenggelam dalam kegelapan oleh segala materi kehidupan yang fana, padahal “Aku” akan menempuh perjalanan panjang. Dusta adalah karakter manusia yang berkembang dalam budaya kehidupan fana. Kebenaran adalah relatif ketika ditafsiri oleh bangsa manusia yang lahir dari Tuhan Maha Absolut. Interpretasi terhadap kebenaran absolut karena lahir dari interpensi  dengan aneka bentuknya. Sementara “Aku” tetap adalah “Aku” sebagai bagian dari kekuasaan absolut Tuhan. “Aku” menjadi bagian dari interpretasi itu dalam budaya manusia yang mencari kebenaran absolut. Karena “Aku” bagian dari alam semesta ini yang selalu dicari “definisi”nya oleh sebangsa “Aku”.  Pertanyaan yang muncul dalam alam sebangsa “Aku” adalah; “Siapa “Aku”?”, “dari mana “Aku”?”, “kemana “Aku”?”, “untuk apa “Aku”?”, dan “bagaimana “Aku”?”. Semuanya bagian dari pembahasan yang penuh interpretasi. Karena “Aku” makhluk yang penuh misteri. Ruh dan jasad, sesuatu yang menyatu tapi memiliki wujud lain dalam diri “Aku”. Kehebatan Tuhan yang menata organ-organ kedua bagian ini, dengan sistem yang sangat menakjubkan adalah bukti kekuasaan-Nya.
Dalam kontek ini, para filosof, seperti Ibn Sina, Al-Farabi, Gazali, Ibn Rusyd serta tokoh-tokoh lainnya telah membahas soal “Aku” dalam deretan kalam yang cukup panjang, berpolemik dalam memahami hakikat kebenaran.
Untuk mengenal hakikat kebenaran, hanyalah Dia yang tahu. Sedangkan manusia memiliki keterbatasan pengetahuan untuk menjelajah kekuasaan-Nya, sehingga memunculkan penafsiran yang berbeda terhadap kebenaran itu. Namun demikian, Tuhan selalu ingin dikenal oleh manusia, meskipun ilmu pengetahuannya terbatas. Ciptaan-Nya inilah pada hakikatnya gambaran Tuhan  Yang Maha Esa, untuk dikenali oleh manusia, seperti “Aku”. “Aku” tidak akan mengenal Dia tanpa ada telapak tangan-Nya. Keinginan Tuhan untuk dikenal adalah hal yang wajar, yang secara logika akan bertanya,  “Bagaimana “Aku” mengenal sesorang tanpa karyanya?”
Dalam hadits Qudsi, Tuhan pernah menyampaikan sebuah pernyataan ;
“…Kuntu kanzan makhfiyyan, fa’ahbabtu an-‘u’rof, fakholaqtu al-khalqo, fa’aroftuhum bi, fa’arofūni…. ” (..Aku dulu adalah harta yang tersembunyi, kemudian aku ingin dikenal, maka Kuciptakan makhluk, Aku mengenal mereka, lalu mereka mengenal Aku…)[1]
Karya agung-Nya ini sesungguhnya untuk membangun ketawadhu’an “Aku” dan sekaligus pengakuan atas kekuasaan-Nya. Sehingga “Aku” sadar bahwa dibalik semua ini ada interpensi Tuhan yang memelihara, menjaga dan menyusun serta mengatur kehidupan dengan segala ukurannya yang tepat, dan tak akan pernah berpihak kepada siapapun, karena Dia tidak memiliki kepentingan apapun dari seperti dan sebangsa “Aku”. “Ooooohhhhh, Dia Maha Kaya dan Sempurna…”, sesempurna “Aku” yang diciptakan oleh-Nya. “… Laqod kholaqna al-insana fi ahsani taqwim…” (Sesungguhnya telah Kami ciptakan manusia dalam bentuk yang sempurna) (QS. Al-Tin [95]:4)
Mestinya “Aku” mengenal Tuhan lewat diri “Aku” yang berstruktur mengagumkan (ajaib). Ada pernyataan “… Man ‘arofa nafsahu, arofa robbahu…” (… Siapa yang mengenal dirinya, niscaya ia akan mengenal Tuhannya…)[2]. Inilah sebuah pernyataan yang mestinya memotivasi “Aku” untuk mengenal Tuhan Rabbul 'Izzah. 



[1] Ali ibn Niyif al-Syujud, Mausu’ah al-Khatib wa al-Durus, (Maktabah Syamilah, ttp, tt), h. 1  
[2] Al-Siyagi, Tuhfat al-Musytaq ila Syarhi Abyat Maula Ishaq, (Maktabah Syamilah, Mawqi’ al-Waraq, tt), h. 15. (Menurut al-Albani, hadits ini dhaif, sebagaimana dikemukakan oleh Imam Nawawi “tidak mempunyai sumber asli”, kecuali hanya  ungkapan orang sufi saja), lihat  Albani,  jil ke-1, h. 143.

KETIKA TUHAN TERSENYUM


Segalanya menjadi indah, ketika Tuhan tersenyum melihat hamba-hamba-Nya beriman dan beramal saleh. Senyum Tuhan adalah lambang kebaikan-Nya yang tak terbatas (absolute). Sebaliknya, kemarahan Tuhan adalah lambang kutukan dan kebenciannya. Dalam al-Qur'an, kemarahan Tuhan sering dilukiskan dengan banyak kata, di antaranya; kata  “ghadhab” (marah), dalam Surat al-Baqoroh [2]: 90, “…  Karena itu mereka mendapat murka sesudah (mendapat) kemurkaan  dan untuk orang-orang kafir siksaan yang menghinakan…”,  kata “la’ana, yal’anu” (mengutuk), dalam Surat an-Nisa [4]:52, “… Mereka itulah orang yang dikutuki Allah. Barangsiapa yang dikutuki Allah, niscaya kamu sekali-kali tidak akan memperoleh penolong baginya...”, dan kata “Qatala” (dikutuk), dalam Surat At-Taubah [9]:30, “…Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka , bagaimana mereka sampai berpaling?..”
Tuhan menghendaki manusia menjadi hamba-Nya yang setia tanpa terpengaruh oleh kondisi apapun. Kemewahan dan kemiskinan bukan menjadi penghalang untuk mengabdikan dirinya kepada Tuhan. Sebab Tuhan memiliki otoritas untuk memberi dan mengambilnya kembali dari manusia. Bahkan alam raya ini gambaran otoritas-Nya yang sangat menakjubkan, hingga benda yang tak terjangkau oleh indera manusia. Manusia sebagai bagian dari alam raya ini pun berada dalam genggaman-Nya yang tak mampu mempertahankan kemasamudaannya, hingga harus menelan kemasatuaannya, dan akhirnya harus wafat.
Kesetiaan manusia kepada Allah Rabbul 'Izzah adalah keharusan yang tak bisa ditawar-tawar. Dan Allah tak akan pernah mengabaikan perbuatan hamba-Nya sekecil apapun. Apa yang dilakukannya pasti tercatat, dan kelak akan diperlihatkan kepadanya. Semuanya tak ada yang terlewatkan dari jangkauan penglihatan dan pendengaran Tuhan. Dalam Surat al-Baqoroh [2]:255.  “… Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi  Allah meliputi langit dan bumi. dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha besar”.
Karena Tuhan mempunyai kemampuan yang tak terbatas, maka kedudukan-Nya harus dijadikan sebagai tempat segalanya bagi manusia; mengadu, mengeluh, mengharap dan menjadi tujuan hidupnya. Ketika itu pula Tuhan akan tersenyum.  Senyuman-Nya merupakan ridho-Nya yang dianugerahkan kepada hamba-hamba-Nya yang saleh lagi beriman. Tuhan telah menjanjikan kehidupan bahagia dunia dan akhirat bagi mereka yang telah mengabdikan dirinya kepada-Nya  dengan ikhlas. Dalam Surat an-Nahl [16] 97, Allah berfirman ; “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik  dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang Telah mereka kerjakan”.

 Namun, kesetiaan manusia terhadap Allah acap kali berubah karena kondisi yang mengelilinginya. Ini bagian dari karakteristik manusia yang selalu labil, terkadang taat dan terkadang maksiat. Namun Tuhan dengan Maha Gafur-Nya selalu terbuka untuk manusia yang meminta ampun kepada-Nya.  Namun demikian, Allah memberikan ancaman kepada manusia yang tidak pernah mentaati perintah-Nya. Ancaman itu bisa dalam aneka bentuk yang menyebabkan manusia menderita, karena kezalimannya. Dalam salah satu syair yang dilantunkan oleh Ebit G. Ade, “… mungkin Tuhan mulai bosan, melihat tingkah kita, yang selalu bangga dengan dosa-dosa…” adalah sebuah illustrasi kecongkakan manusia terhadap Tuhan atas dosa-dosa yang dibanggakannya. Dalam al-Qur'an Allah berfirman, “… walau anna ahlal quro amanu wa attaqow lafatahna ‘alaihim barokatin min al-sama’I wal ‘ardhi walakin kadzdzabu fa’akhodznahum bima kanu yaksibun…” (“… Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya… ”) (QS. Al-‘Araf [7]: 96)
Dalam Tafsir al-Khazin, dikatakan bahwa aneka azab yang diturunkan kepada manusia adalah gempa bumi (al-zilzalah syadidah), kesulitan hidup (dhaiq al-‘aisy), ancaman bahaya  hidup yang menyebabkan tidak aman (al-dharra’), kebimbangan jiwa (al-Nafs) dan sebagainya.[1]
Al-Qur'an mengungkapkan kisah-kisah masa lalu sebagai pelajaran bagi manusia sepanjang zaman. Agar manusia mampu merubah sikap dan prilakunya dari perbuatan zalim dan keangkuhan atas segala dosa-dosanya.
Mana yang kita pilih?, senyum Tuhan atau murkan-Nya?. Taqarrub adalah media untuk menggapai senyum-Nya. Wallahu ‘alam.


[1] Al-Khazin, Lubab al-Tanzil fi Ma’ani al-Tanzil, (Maktabah Syamilah, Mauqi al-Tafsir, tt), h. 163