Senin, 11 Mei 2009

MENIKMATI KEMISKINAN

Oleh : Hasan Luthfy Attamimy

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (al-Baqoroh:155).

Ayat ini berbicara tentang cobaan yang Allah timpakan kepada manusia. Ketika cobaan itu datang menimpanya, masihkan ia ingat kepada Allah dan menerimanya dengan penuh kesabaran?. Cobaan itu sesungguhnya proses peningkatan iman dan pendewasaan pengalaman hidup manusia. Melalui cobaan itu, manusia akan merasakan kenikmatan, sebab ada kesan yang bisa dikenang dalam hidupnya. Tetapi ini hanya bisa dilakukan oleh orang yang beriman dan menerimanya dengan ikhlas. Orang yang tidak beriman dan tidak ikhlas menerima cobaan itu, boleh jadi ia akan putus asa, dan menganggap cobaan itu suatu beban yang menyiksa.
Firman Allah;
Dan jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat (ni’mat) dari kami, kemudian rahmat itu Kami cabut dari padanya, pastilah dia menjadi putus asa lagi tidak berterimakasih. (Hud : 9)
Manusia tidak jemu memohon kebaikan, dan jika mereka ditimpa malapetaka dia menjadi putus asa lagi putus harapan. (Fushshilat:49)
Dari sekian cobaan (ujian) – seperti diungkap al-Quran pada ayat di atas – di antaranya kemiskinan. Kata miskin (tunggal) dan masakin (Jamak) diungkap oleh Allah dalam al-Qur’an sebanyak 23 kali. Kata tersebut sering dirangkaikan dengan kata Faqir. Seperti di antaranya dimuat di dalam Surat Attaubah : 60. Rangkaian tersebut merupakan kesejajaran dari sudut tingkat ekonomi, bukan dari aspek intelektual dan keimanan. Menurut sebagian ulama bahwa orang miskin itu adalah orang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dari apa yang telah diusahakannya. Berbeda dengan Sayid Sabiq; Tidak ada perbedaan antara fakir dan miskin, jika dipandang dari tingkat kebutuhan hidup dan kepapaannya.
Kemiskinan bukanlah peristiwa baru seperti terjadi pada saat ini. Tetapi kemiskinan telah berlangsung sejak manusia ini menginjakkan kakinya di bumi. Oleh karenanya al-Qur’an, selain menceritakan tentang manusia masa lampau yang notabene miskin, juga memberi pesan kepada manusia bahwa kemiskinan adalah salah satu ujian yang harus dihadapi dengan sabar, bukan ditangisi dengan penuh penyesalan.
Kemiskinan jangan dianggap suatu siksaan, apalagi menyalahkan takdir Allah. Tetapi ia harus dihadapi dengan senyum dan tawakkal. Sehingga kemiskinan bisa menjadi nikmat baginya. Kemiskinan bukan pula murka Allah, tetapi salah satu bentuk kasih sayangNya yang mengandung hikmah.
Allah berfirman ;
Boleh jadi sesuatu yang kamu benci, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi sesuatu yang kamu sukai, ia amat buruk bagimu (al-Baqoroh:216)
Bagi orang yang kurang atau tidak bersyukur, kemiskinan menjadi sesuatu yang menyiksa, dan menganggap kemewahan sebagai kesenangan abadi. Belum tentu!. Boleh jadi kemewahan dunia bisa menyeret dirinya pada kezaliman
Setiap orang perlu mengambil hikmah dari kemiskinan yang menimpa dirinya. Pertama, kemiskinan sebagai proses peningkatan iman, dan mendorong untuk lebih dekat kepada Allah. Kedua, orang miskin –degan kemiskinannya– lebih banyak mengenal tetangganya, dibandingkan orang kaya yang hidup eksklusif. Sebab bagi orang miskin, waktu luang untuk bersilaturrahmi lebih banyak baginya. Sebaliknya orang kaya, karena kesibukkan duniawinya, sangat sulit untuk bersilaturrahmi dengan tetangganya. Kita bisa melihat, beberapa Majlis Ta’lim sebagai media sillaturrahmi lebih didominasi oleh orang-orang miskin ketimbang orang-orang kaya. Itu terjadi hampir di semua Majlis Ta’lim. Ketiga, selain itu, orang miskin, lebih terbuka pintu rumahnya untuk didatangi dari pada orang kaya yang lebih tertutup. Bisa difahami, sebab orang miskin merasa lebih aman untuk meninggalkan rumahnya yang notabene tidak memiliki benda-benda berharga seperti orang-orang kaya. Acapkali orang miskin, jika pergi ke suatu tempat yang tidak membutuhkan waktu lama, ke masjid atau ke majlis ta’lim, tidak perlu harus menggembok pintu rumahnya. Tentu saja berbeda dengan orang kaya, hanya pergi ke tetangga saja ia harus sibuk mengunci pintunya. Keempat, orang miskin lebih bebas untuk mengkonsumsi makanan jenis apa pun,asal halal. Tanpa harus memikirkan menu masakan apa yang akan dikonsumsinya. Nampaknya orang miskin, dengan kemiskinannya lebih merdeka dari para orang kaya.
Tentu saja gambaran di atas dipandang dari sudut positif, yang jika dipikirkan sesungguhnya mengandung hikmah bagi orang miskin yang pandai mensyukuri ketentuan Allah. Bagi orang yang pandai mensyukuri ni’mat Allah, ada atau tidak ada harta baginya sama saja. Ketika ia susah ia tidak mengeluh, dan ketika ia senang ia tidak lupa Allah. Orang seperti ini, tentu bisa menikmati kemiskinannya.
Namun demikian, al-Qur’an juga menganjurkan umatnya agar tidak terlena dengan kemiskinan. Sebab kemiskinan bisa juga mengantarkan seseorang kepada kemusyrikan.
Dan carilah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi, dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu (QS. Al-Qashash:77)

Rasulullah SAW mengingatkan seperti bersabda ;
Kemiskinan memungkinkan orang menjadi kafir (al-Hadits)

Rasulullah SAW selalu memuji orang yang bekerja dari hasil keringatnya sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa merubah kehidupan yang miskin merupakan keharusan bagi setiap orang untuk bekal ibadah kepada Allah. Dengan hidup cukup, kebututuhan keluarga dapat diatasi, terutama kebutuhan pendidikan. Sebab pendidikan dapat mengantarkan seseorang memahami makna hidup, sehingga ia menjadi mulia.
Dalam banyak ayat, Allah mengilustrasikan perbedaan orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu seperti malam dan siang, atau orang buta dengan orang yang melek.
Katakanlah (hai Muhammad) ”Apakah sama orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu. (QS. Az-zumar : 9)
Dengan ilmu itu pula dapat mengantarkan manusia hidup berkecukupan. Kalau pun ia berkecukupan, harta kekayaannya dapat diolah dan dinafkahkan pada yang positif. Sebaliknya, jika orang yang berilmu itu tetap dalam kondisi miskin, ia tidak akan putus asa, dan kemiskinannya dianggap menjadi hikmah baginya. Rasulullah bersabda “Barang siapa yang ingin (kemewahan) dunia, maka harus dengan ilmu, dan barang siapa yang ingin (kemewahan) akhirat, maka harus dengan ilmu. Dan barang siapa yang ingin keduanya harus (pula) dengan ilmu.
Harta dalam Islam, bagian yang signifikan untuk dimanfaatkan lahan ibadah. Dengan harta ia dapat melengkapi rukun islam dengan beribadah haji. Dengan harta ia dapat memiliki rumah untuk menjaga kehormatan keluarganya, dengan harta ia dapat memberi pendidikan kepada keturunannya, dengan harta ia dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya sehingga ia tidak menjadi pengemis yang meminta-minta uluran tangan orang lain, bahkan dengan harta ia dapat membantu kebutuhan orang lain. Oleh karena itu harta menjadi penting bagi kehidupan manusia, asalkan manusia tidak terjebak oleh harta yang dalam bahasa al-Qur’an disebut sebagai mata’ul gurur (kesenangan yang menipu).
Ali ibn Abi Thalib, mengatakan “Kebahagiaan seseorang itu ada tiga pada tiga unsure ; kendaraan yang ideal, rumah yang ideal, dan isteri yang ideal (solehah)”
Dengan kendaraan ia bisa bersillaturrahim bersama keluarganya, dapat mencari usaha dan sebagainya. Dengan rumah ia bisa menjaga kehormatan keluarganya dan melindunginya dari segala yang mengancam jiwanya, dan dengan isteri yang solihah, ia dapat tenteram di rumah, dan membimbing keluarganya dengan kasih sayang, yang dapat mempengaruhi ketenangan suami dalam bekerja.

Penutup

Bagi seorang muslim yang istiqomah dalam menatap kehidupan ini, miskin dan kaya tidak akan merubah sikapnya. Dengan miskin ia akan sabar dan dengan harta ia akan bersyukur.

ULAMA DAN SINGGASANA

Oleh : Hasan Luthfy Attamimy

Pada masa Rasulullah, Madinah dipimpin oleh beliau sebagai Rasul Allah dengan otoritas yang berlandaskan kenabian, sekaligus pemimpin masyarakat dan kepala negara. Setelah beliau wafat, para sahabatnya-lah yang kemudian menjabat sebagai kepala negara menggantikan kedudukan Rasulullah dalam mengelola masyarakat Madinah. Pemilihan kepala negara dilakukan dengan system demokrasi dalam majlis musyawarah terbuka. Baik ketika pemilihan Abu Bakar, Umar ibn Khattab, Utsman ibn Affan atau ketika pemilihan Ali ibn Abi Tolib
Selain sebagai kepala negara, para sahabat tersebut pada hakikatnya bergelar ulama. Keulamaan mereka bukan hanya sekedar menampilkan kemampuan ilmunya, tetapi karakteristik keulamanya telah diperlihatkan oleh mereka dalam prilaku setiap hari. Keistiqomahannya dalam hidup zuhud, jujur, adil dan bijaksana serta berakhlak mulia adalah kunci untuk mensukseskan laju pembangunan dalam segala sector kehidupan bangsa dan negara. Baik dalam berpolitik, pengamalan hukum, atau memenage perekonomian dan sebagainya, menggunakan prinsip-prinsip al-Qur’an

Tugas Ulama

Ulama, dalam pandangan al-Qur’an adalah orang yang hanya takut kepada Allah. Mereka memiliki pengetahuan yang dapat menerjemahkan bukti-bukti kebesaran Allah. Sehingga tingkat kesadarannya sangat tinggi untuk menegakkan kebenaran dan beramar ma’ruf, nahi dan munkar. Oleh karena itu mereka menempati posisi terhormat, baik dalam pandangan manusia atau pandangan Tuhan. Dalam pandangan Islam, ulama diakuinya sebagai pewaris para nabi.
Seseorang yang disebut ulama, bukan hanya sekedar ketinggian ilmunya, baik dalam aspek hukum-hukum Agama atau ilmu-ilmu umum (pembagian ilmu dalam pengertian sempit, pen). Tetapai ia juga memiliki akhlak karimah (mulia). karena ia selalu menjaga martabat keulamaannya dari berbagai sifat yang tidak terpuji, dan tidak mengundang orang lain mencercanya.
Sebagai ahli waris nabi, ulama membawa tugas suci yang disebut Wadh’un Ilahiyun yaitu hukum-hukum Allah untuk menggiring manusia yang berakal menuju kemuliaan insaniyah. Ada empat tugas utama yang harus dijalankan ulama sesuai dengan tugas kenabian. Pertama, menyampaikan (tabligh) ajaran-ajaran Allah baik yang tersurat atau yang tersirat dalam al-Qur’an. Kedua, menjelaskan ajaran-ajaran-Nya itu kepada masyarakat. Ketiga, memutuskan perkara atau problem yang dihadapi masyarakat. Dan keempat, memberi contoh pengamalan tentang ajaran-ajaran Allah kepada masyarakat. Baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial maupun budaya berdasarkan prinsip-prinsip dasar dan nilai-nilai yang digariskannya dalam al-Qur’an dan disabdakan oleh Rasulullah.

Menuai Singgasana

Bukan hal yang baru jika kita menyaksikan peranan para ulama dalam mengukir sejarah perpolitikan dari masa ke masa di belahan dunia. Sejak masa Rasulullah, generasi sahabat, tabi’in dan sampai sekarang, para ulama tidak saja mengkhususkan diri dalam bidang pendidikan dan da’wah. Tetapi mereka juga telah berperan aktif dalam dunia politik sebagai upaya penyelamatan bangsa dan negara. Atau sekaligus berpolitik dalam da’wah dan da’wah dalam berpolitik. Seperti Rifa’ah Badawi Rafi’ al-Tahtawi (1801M), Jamaluddin al-Afghani 1897M), Muhammad Abduh (1849M), Rasyid Rida (1882M) dan lain-lain.
Di Indonesia, dari masa ke masa, ulama selalu ikut ambil bagian dalam urusan politik. Sebab politik bagian dari kebutuhan masyarakat suatu bangsa. Ulama juga merasa bertanggungjawab untuk menentukan proses pencapaian negara yang adil dan bangsa yang damai dan sejahtera. Sebab menurut Imam Gazali (1111M), mempelajari ilmu politik hukumnya fardu kifayah. Dan ilmu ini bagian dari pada ajaran Islam.
Terlebih lagi, Islam telah memerintahkan agar urusan suatu bangsa dan negara harus dipikulkan kepada orang-orang yang beriman kepada Allah yang Ahad, berilmu, berperilaku soleh, juga memiliki kecakapan dalam memimpin. Sebaliknya, Al-Qur’an melarang umat Islam untuk menyerahkan tugas kepemimpinan itu kepada orang – orang yang tidak memiliki kriteria di atas.
Seyogyanya kita sebagai muslim anak bangsa ini, perlu bersyukur kepada para ulama yang masih respon melihat realita kondisi bangsa yang semakin rapuh dan terpuruk. Krisis kepercayaan masyarakat kepada para pemimpin kita dewasa ini, terpuruknya perekonomian, pengangguran yang semakin meningkat, kesempatan kerja yang semakin sulit, budaya korupsi semakin meluas dan sebagainya, memicu ulama untuk menggapai singgasana kursi kepresidenan atau jabatan lainnya. Baik langsung atau tidak langsung. Lagi-lagi, ini bukanlah hal yang baru bagi kita.
Meskipun, ada sebagian masyarakat muslim yang mengharapkan ulama kembali ke khitahnya (komunitasnya, Pondok Pesantren, pen), tidak terlibat dalam politik praktis, atau memangku suatu jabatan tertentu dalam pemerintahan, tetapi di sisi lain, umat Islam akan kehilangan kebebasannya, jika kepemimpinan itu diserahkan kepada orang-orang yang antipati terhadap Islam. Pengalaman sejarah di era 80 an telah terbukti bahwa umat islam dipersempit ruang geraknya. Sehingga ada beberapa da’i harus lapor untuk berda’wah, bahkan tidak sedikit para da’i diintograsi setelah berda’wah. Demikian pula kegiatan Pelajar Islam Indonesia (PII) untuk mengadakan Basic Training harus kucing-kucingan dengan Kelurahan setempat (penulis aktifis pengurus PII Tangerang, Ketua Da’wah, periode 1978 – 1981, pen). Juga Pendidikan Moral Pancasila yang disuguhkan kepada para siswa telah mendangkalkan akidah pelajar muslim. Dan masih banyak pengalaman pahit yang diderita umat Islam.
Ulama yang kita harapkan, setelah ia meraih singgasana, baik sebagai Presiden, Wakil Presiden, Menteri atau Anggota Dewan tentunya tidak kehilangan zati dirinya sebagai ulama. Tidak lantas meninggalkan tugas sucinya sebagai pewaris nabi. Tetapi, justeru di saat itu, seyogyanya ia memanfaatkan kesempatan untuk berda’wah kepada bawahannya atau kepada rekan-rekannya dan kepada umat. Da’wah melalui jabatan dan kekuasaan, baik bil al-fi’li atau bi al-hal, yang dibarengi nilai-nilai akhlak mulia adalah salah satu terapi mujarab untuk mengobati negara yang saat ini sedang sakit parah yang berkepanjangan. Sebab tidak hanya konsep, tetapi perwujudan prilaku yang baik, benar, jujur dan penuh tanggungjawab sangat menentukan untuk mengatasi persoalan yang sangat komplek ini.
Kita perlu percayakan urusan bangsa ini kepada ulama yang punya kapasitas berpolitik, ilmu ekonomi, dan punya keberanian beramar-ma’ruf dan memerangi nahi-munkar. Tetapi juga kita perlu mengingatkannya agar tetap istiqomah dengan karakteristik keulamaannya. Sebab ia juga manusia biasa, dan tidak perlu dikultuskan jika sukses mengatarkan kehormatan problem bangsa. Tidak perlu juga dicerca, jika ia gagal dalam memimpin. Sebaliknya ulama yang tidak punya kapasitas keilmuan di atas, kita percayakan untuk membantu membangun bangsa ini lewat pendidikan dan da’wah.
Perlu pula mengingatkan bahwa singgasana identik dengan kemewahan duniawi. Berbagai pasilitas yang diberikan kepadanya selama masa jabatannya tidak membuatnya luntur dan lupa pada tanggungjawabnya terhadap rakyat. Kalaulah ini terjadi, kepercayaan umat padanya akan sirna. Pada akhirnya ulama hanya sebagai symbol formal keagamaan belaka yang tidak berarti.

Penutup

Ketika ulama sudah kehilangan jati dirinya sebagai pewaris nabi, secara otomatis untuk bersanding duduk di majlis, mendengar petuahnya, serta menuai ilmu darinya, tidak menjadi kebanggaan lagi. Namun demikian, perlu disadari bahwa bagaimana pun profil ulama yang diidealkan, ia tetap manusia biasa dan tidak mungkin sempurna mewarisi kenabian dalam memerankan dirinya dalam seluruh aspek kehidupan. Wallahu ‘alam.