Sabtu, 05 Maret 2011

AKU

Dulu “Aku” ada dan tak ada. “Aku” dulu adalah makhluk yang melayang di angkasa, alam ruhaniah. “Aku” adalah wujud dari bagian jagat raya yang diciptakan oleh Allah Rabbul 'Izzah, Tuhan Semesta. “Aku” bukan Tuhan, tapi “Aku” adalah kemahakuasaan dan kesempurnaan-Nya Yang Abadi. Bukan “Aku” yang maha sempurna, tapi Dia yang Maha Sempurna. “Aku” juga bagian dari mereka yang berawal dan berakhir, yang berawal dari tiada menjadi ada dan kembali tiada, hidup di alam ada, dan kembali ke alam ada yang kelak disaksikannya setelah “Aku” menemui kematian.
Tuhan menjelmakan “Aku” dengan sebait perjanjian, “… alastu birabbikum…” (“… bukankah Aku Tuhanmu…”). Lalu “Aku” menjawab, “… qōlū balā syahidnā…”, (tentu, Engkau Tuhan kami, kami bersaksi …”) (QS. Al-‘Araf [7]:172). “Aku” mengikat perjanjian ruhani dengan Tuhan, sebuah perjanjian yang mutlak dikerjakan dan tak ada kepura-puraan dalam perjanjian itu dengan segala konsekuensinya.
Kemudian “Aku” dijelmakan dalam alam yang penuh dusta, relatif, penuh interpretasi dan interpensi, sekaligus alam kebenaran dan kesaksian. Di sinilah “Aku” lalai, dan lalai pada ikatan perjanjian ruhani itu. Ikatan penjanjian antara “Aku” dengan Tuhan sering pudar dalam perjalanan hidupku. Tuhan adalah Tuhan yang mengetahui segala sisi “Aku”. “Aku” tenggelam dalam kegelapan oleh segala materi kehidupan yang fana, padahal “Aku” akan menempuh perjalanan panjang. Dusta adalah karakter manusia yang berkembang dalam budaya kehidupan fana. Kebenaran adalah relatif ketika ditafsiri oleh bangsa manusia yang lahir dari Tuhan Maha Absolut. Interpretasi terhadap kebenaran absolut karena lahir dari interpensi dengan aneka bentuknya. Sementara “Aku” tetap adalah “Aku” sebagai bagian dari kekuasaan absolut Tuhan. “Aku” menjadi bagian dari interpretasi itu dalam budaya manusia yang mencari kebenaran absolut. Karena “Aku” bagian dari alam semesta ini yang selalu dicari “definisi”nya oleh sebangsa “Aku”. Pertanyaan yang muncul dalam alam sebangsa “Aku” adalah; “Siapa “Aku”?”, “dari mana “Aku”?”, “kemana “Aku”?”, “untuk apa “Aku”?”, dan “bagaimana “Aku”?”. Semuanya bagian dari pembahasan yang penuh interpretasi. Karena “Aku” makhluk yang penuh misteri. Ruh dan jasad, sesuatu yang menyatu tapi memiliki wujud lain dalam diri “Aku”. Kehebatan Tuhan yang menata organ-organ kedua bagian ini, dengan sistem yang sangat menakjubkan adalah bukti kekuasaan-Nya.
Dalam kontek ini, para filosof, seperti Ibn Sina, Al-Farabi, Gazali, Ibn Rusyd serta tokoh-tokoh lainnya telah membahas soal “Aku” dalam deretan kalam yang cukup panjang, berpolemik dalam memahami hakikat kebenaran.
Untuk mengenal hakikat kebenaran, hanyalah Dia yang tahu. Sedangkan manusia memiliki keterbatasan pengetahuan untuk menjelajah kekuasaan-Nya, sehingga memunculkan penafsiran yang berbeda terhadap kebenaran itu. Namun demikian, Tuhan selalu ingin dikenal oleh manusia, meskipun ilmu pengetahuannya terbatas. Ciptaan-Nya inilah pada hakikatnya gambaran Tuhan Yang Maha Esa, untuk dikenali oleh manusia, seperti “Aku”. “Aku” tidak akan mengenal Dia tanpa ada telapak tangan-Nya. Keinginan Tuhan untuk dikenal adalah hal yang wajar, yang secara logika akan bertanya, “Bagaimana “Aku” mengenal sesorang tanpa karyanya?”
Dalam hadits Qudsi, Tuhan pernah menyampaikan sebuah pernyataan ;
“…Kuntu kanzan makhfiyyan, fa’ahbabtu an-‘u’rof, fakholaqtu al-khalqo, fa’aroftuhum bi, fa’arofūni…. ” (..Aku dulu adalah harta yang tersembunyi, kemudian aku ingin dikenal, maka Kuciptakan makhluk, Aku mengenal mereka, lalu mereka mengenal Aku…)
Karya agung-Nya ini sesungguhnya untuk membangun ketawadhu’an “Aku” dan sekaligus pengakuan atas kekuasaan-Nya. Sehingga “Aku” sadar bahwa dibalik semua ini ada interpensi Tuhan yang memelihara, menjaga dan menyusun serta mengatur kehidupan dengan segala ukurannya yang tepat, dan tak akan pernah berpihak kepada siapapun, karena Dia tidak memiliki kepentingan apapun dari seperti dan sebangsa “Aku”. “Ooooohhhhh, Dia Maha Kaya dan Sempurna…”, sesempurna “Aku” yang diciptakan oleh-Nya. “… Laqod kholaqna al-insana fi ahsani taqwim…” (Sesungguhnya telah Kami ciptakan manusia dalam bentuk yang sempurna) (QS. Al-Tin [95]:4)
Mestinya “Aku” mengenal Tuhan lewat diri “Aku” yang berstruktur mengagumkan (ajaib). Nabi pernah menyatakan “… Man ‘arofa nafsahu, arofa robbahu…” (… Siapa yang mengenal dirinya, niscaya ia akan mengenal Tuhannya…) . Inilah sebuah pernyataan yang mestinya memotivasi “Aku” untuk mengenal Tuhan Rabbul 'Izzah.

Jumat, 04 Maret 2011

IKHLAS, AMAL DAN UJRAH

Oleh : Hasan Luthfy Attamimy, M.A

Pendahuluan

Ikhlas salah satu pondasi dalam setiap amal (pekerjaan) yang dituntut oleh Islam. Namun sering dipahami bahwa ikhlas itu terbebas dari segala ujrah (upah) bagi mereka yang telah dipekerjakan dan berjasa membantu meringankan beban seseorang. Seakan-akan kata ikhlas merupakan kunci yang lepas dari tanggung jawab penyuruh tanpa penghargaan kepada mereka yang telah bekerja.
Apa ikhlas itu?. Dan bagaimana pula kaitannya dengan pekerjaan dan upah?. Dimana letak tanggung jawab seseorang yang telah mempekerjakan orang lain?. Bagaimana tanggapan para fuqoha tentang upah Khatib, guru ngaji dan orang-orang yang terlibat dalam kegiatan keagamaan?. Haruskan mereka bebas dari upah, karena tuntutan ikhlas?
Tulisan ini akan mencoba mengurai secara ringkas tentang persoalan di atas, sesuai dengan kapasitas keilmuan penulis.

Pengertian

Secara etimologi, kata “ikhlas” artinya murni, bersih, atau jernih, dengan kata jadiannya diungkap oleh al-Qur’an di dalam beberapa surat. Antara lain QS. Al-Bayyinah [98]:5;( مخلصين ) QS. Yusuf [12]:24 (المخلصين ) dan 80 ( خلصوا); QS. Al-An’am [6]: 139 ( خالصة ) dan ayat-ayat lain. Secara termininologi, kata “Ikhlas” adalah ketulusan dan kebersihan hati di dalam upaya memurnikan ketaatannya kepada Allah swt sehingga segala perilakunya selalu dilandasi oleh semangat ketaatan kepada Allah semata, tanpa pamrih
Al-Badri dalam bukunya “al-Ikhlas” mendefinisikan “ikhlas” sebagai berikut;

الاخلاص هو في اللغة: تخليص الشيء وتجريده من غيره وفي الاصطلاح: تصفية ما يراد به ثواب الله وتجريده من كل شائبة تكدر صفاءه وخلوصه له سبحانه.

Menurut bahasa, Ikhlas adalah membersihkan sesuatu dan memisahkannya dari yang lain. Menurut istilah membersihkan segala keinginkan untuk mendapatkan pahala dari Allah, dan memisahkannya dari setiap yang mencemarkan kebersihan dan kesucian dirinya semata karena Allah.

Ciri-ciri orang yang ikhlah (mukhlish) antaran lain ; 1) melakukan ibadah semata-mata mengharap ridha Allah; 2) memotivasi perilaku sehari-hari untuk lebih bertanggung jawab dalam bekerja; 3) menjalankan ajaran agamanya dengan rela tanpa beban; dan 4) tidak goyah dengan segala macam gangguan, daya tarik material dan tipu muslihat yang merusak ketulusannya.
Hemat penulis, Ikhlas adalah kebersihan sikap dan prilaku dari unsur-unsur tipu-daya dalam melaksanakan tugas, disertai tanggung jawab, dan bebas dari upaya yang membahayakan dan menghambat pekerjaan baik, terhadap dirinya maupun orang lain. Semua kegiatan itu dijadikan media ibadah, karena semata-mata ridha Allah.
Sedangkan “amal” ( العمل ), diungkap dalam al-Qur’an sebanyak 359 kali dengan berbagai kata jadiannya. Secara etimologi “amal” artinya pekerjaan, perbuatan atau aktivitas (karya). Sedangkan secara terminology amal adalah segala perbuatan yang dilakukan secara sadar dan sengaja bersumber pada daya, fikir, fisik dan kalbu.
Kata “Ujrah” ( اجرة ) artinya upah, atau “Ajrun-ujurūn” ( اجور - اجر ) artinya pahala, ganjaran atau upah. Contoh ; سخّره تسخيرا: ذلّلــه : وكلفه عملا بلا اجرة (Dia menghinakannya, merendahkannya: dan membebankannya suatu pekerjaan tanpa upah) . Kata tersebut diungkap dalam al-Qur’an sebanyak 108 kali. Kata “Ajrun” bermakna sesuatu imbalan pekerjaan yang dilakukan oleh sesorang, baik imbalan yang bersifat materi keduniaan maupun yang bersifat immateri (pahala). Pada hakikatnya upah atau imbalan adalah hasil usaha sesorang yang diberikan oleh orang lain yang membawa kebaikan kepada kedua belah pihak.

Ihkhlas dalam pandangan Islam

Sebagaimana penulis kemukakan di atas bahwa ikhlas adalah kebersihan hati dalam upaya mencari ridha Allah atas segala bentuk aktivitas. Para ulama menafsirkan kata ikhlas ini berkaitan dengan seluruh aktivitas manusia, baik yang berhubungan dengan ibadah maupun yang berkaitan dengan muamalah.
Menurut Said al-Juabair sebagaimana dikutip dalam Tafsir al-Bugawii, bahwa ikhlas itu ungkapan hati yang hanya mengharapkan ridha Allah dan pahala-Nya atas keyakinannya terhadap agama dan pekerjaan yang dilakukannya tanpa ada unsur syirik dan riya yang mencemari hatinya.
Imam Gazali dalam Ihya Ulumuddin menyoroti ikhlas lebih pada aspek ibadah, bukan pada aspek pekerjaan duniawi. Seperti kita ketahui bahwa Gazali memang seorang Sufi dan Filosof yang lebih dominan berbicara pada persoalan ruhaniyah. Namun demikian, ia juga banyak mengomentari aspek pekerjaan yang berhubungan erat dengan tanggung jawab dalam semua profesi seperti dokter, insinyur dan sebagainya yang harus dilakukan dengan ikhlas mengharap ridha Allah. Menurutnya, bahwa pekerjaan itu merupakan asset untuk mencapai akhirat
Islam memandang bahwa ikhlas merupakan dasar seluruh kegiatan baik yang berhubungan dengan dunia maupun dengan akhirat. Pekerjaan yang dilakukan dengan ikhlas akan melahirkan tanggung jawab yang kuat.

            •     
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. (QS. Al-Bayyinah [98] : 5)

Ayat ini berbicara tentang tiga hal yang saling berkaitan; 1) beribadah secara umum dengan setia menjalankan ajaran agama, yang ditunjukkan dengan kata “lahu al-din”; 2) ibadah shalat sebagai wujud syukur dan berhubungan langsung dengan Allah; dan 3) ibadah zakat sebagai bentuk kepedulian social yang berhubungan dengan manusia. Ketiga aspek ini, saling mengikat dalam bingkai ikhlas. Hal ini ditunjukkan dengan teks ayat “liya’budullah mukhlishin”.
Dalam sutau peristiwa hijrah, Nabi Muhammad mengkritik ketika ada seorang sahabat yang bermaksud menikah apabila sampai di Madinah.

عن عمر بن الخطاب رضي الله عنه على المنبر قال سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول : ( إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرىء ما نوى فمن كانت هجرته إلى دنيا يصيبها أو إلى امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه ) رواه البخارى
Dari Umar ibn Khatabra., (khutbah) di atas mimbar, “Aku mendengar Rasulullah swt., bersabda; ‘’Sesungguhnya pekerjaan itu (tergantung) pada niat, sesungguhnya setiap orang memiliki niat masing-masing, maka siapa yang hijrah untuk dunia, ia akan mendapatkannya, atau siapa yang berniat untuk wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya apa yang ia nikahi” HR. Buchari.

Hadits tersebut, menurut Buchari, dimaksudkan untuk meluruskan niat bagi orang yang akan melakukan kebaikan. Seperti menuntut ilmu, pengajar, dan sebagainya. Sebab apa yang diniyatinya itu adala balasan yang diperolehnya (upah atau pahala).

Hubungan Ikhlas, Amal dan Ujrah

Bekerja atau amal banyak dikomentari oleh Al-Qur’an. Kata itu selalu dirangkai dengan kata “amanu” (آمنوا ) artinya orang yang telah beriman.

     •  •                                
Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan : "Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu." mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang Suci dan mereka kekal di dalamnya (QS. Al-Baqoroh [2]:25)

Kata “amilu” ( عملوا ) yang didahului oleh kata “amanu” (آمنوا ) menunjukkan pada bahwa suatu tugas dan aktivitas harus dilandasi dengan iman. Iman -dalam definisi ulama- adalah membenarkan dengan hati, mengakui dengan lidah, dan diaplikasikan dengan perbuatan. Iman inilah yang mendorong seseorang untuk ikhlas dalam melaksanakan semua aktivitasnya. Keikhlasan sangat berpengaruh terhadap semua kegiatan. Sebab dapat melahirkan rasa tanggung jawab. Kalau kita mengamati beberapa teks ayat yang memunculkan kata “ikhlas” dengan berbagai bentuk kata jadiannya, ini mengisyaratkan bahwa dalam bekerja tidak cukup hanya “amanu” dan “amilu”. Tetapi harus dibarengi dengan ikhlas. Karena tidak semua orang yang memiliki iman, ternyata ikhlas dalam beramal. Seperti tertuang di dalam QS. Al-Bayyinah [98]:5;( مخلصين ) yang berbicara tentang perintah beribadah kepada Alllah dengan mengikuti alur agama.
Menurut al-Ashbihani, dalam kitab Hilyat al-Auliya wa al-Thabaqat al-Ashfiya, mengatakah bahwa tanda-tanda orang yang ikhlas itu dua; pertama tidak tamak dan kedua tidak mengharap pujian. Oleh karena itu, keikhlasan yang bermuara pada iman harus dihadirkan dalam hati, baik dalam aspek ibadah keagamaan, maupun aspek kebutuhan hidup dengan mengikuti ajaran-ajaran Agama, sehingga tidak menimbulkan dua hal seperti di atas.
Berkaitan dengan upah (ujrah), al-Qur’an telah memberi jawaban dengan istilah; Ajrun ( اجر), tsawab ( الثواب ), hasanah ( حسنة), jaza’ (جزاء ) bahwa teks-teks tersebut memberi isyarat adanya balasan sebagai rasa tanggung jawab Tuhan terhadap karya hambanya. Bahkan Dia tidak akan mengabaikan pekerjaan hamba-Nya, meskipun sebesar zarra (biji-bijian).


•              •  
Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar. (QS. Annisa [4]:40)
      
Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik (QS. At-Taubah [9]: 120)

Perlu diketahui bahwa kata “Ajrun” sebagai pahala atau upah dari suatu usaha yang bersifat duniawi yang memberi manfaat bagi seseorang. Sedangkan kata “tsawab” lebih bermakna pada usaha yang bersifat ukhrawi, tetapi bisa dalam bentuk kebaikan maupun keburukan.
Hubungan ketiganya; “ikhlas, amal dan ajrun” sangat erat dan saling mengikat. Artinya pekerjaan yang dibayar dengan upah tidak berarti tidak berpahala. Bahkan boleh jadi, orang yang memberikan tugas-tugas tertentu kepada seseorang tanpa upah, ia berdosa. Karena telah menghilangkan hak orang lain sebagai pekerja yang dianggap berjasa kepada yang bersangkutan dan bahkan hasil jasa tersebut telah dinikmati manfaatnya.
Hal ini disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW.,
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ » رواه ابن ماجة
Dari Abdullah ibn Umar berkata, bersabda Rasulullah SAW; “Berikan pegawai itu upahnya sebelum keringatnya kering” (HR. Ibnu Majah).

Hadits ini menunjuk sebuah penghargaan atas usaha seseorang yang telah mencurahkan fikiran, tenaga, dan waktunya untuk orang yang telah mempekerjakannya. Dan bahkan upah ini juga merupakan penghargaan tak langsung kepada keluarganya.

Pandangan Ulama tentang Ujrah Ibadah

Perlu penulis kemukakan terlebih dahulu tentang pengertian ibadah dalam perspektif Islam. Di dalam salah satu tulisannya, Ibnu Taimiyah mengatakan ;

العبادة هي اسم جامع لكل ما يحبه الله ويرضاه : من الأقوال والأعمال الباطنة والظاهرة فالصلاة والزكاة والصيام والحج وصدق الحديث وأداء الأمانة ؛ وبر الوالدين وصلة الأرحام والوفاء بالعهود والأمر بالمعروف والنهي عن المنكر . والجهاد للكفار والمنافقين والإحسان إلى الجار واليتيم والمسكين وابن السبيل والمملوك من الآدميين والبهائم والدعاء والذكر والقراءة وأمثال ذلك من العبادة

Ibadah adalah nama yang mencakup setiap apa yang disukai dan diridoi Allah, baik ucapan atau perbuatan, baik yang sifatnya batiniyah atau zahiriyah. Salat, zakat, puasa, haji, berbicara jujur, menunaikan amanah, berbakti pada kedua orang tua, silaturrahim, memenuhi janji, memerintahkan kebaikan, mencegah kemunkaran, jihad terhadap orang kafir dan munafik, berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, orang miskin, dan ibnu sabil, memerdekakan budak dan binatang, doa, zikir, membaca, dan hal-hal seperti itu, merupakan ibadah.

Pengertian di atas dapat dipahami bahwa ibadah adalah semua aktivitas manusia yang memiliki nilai kebaikan, manfaat dan maslahat bagi kehidupan manusia itu sendiri, baik yang berkaitan dengan Allah maupun berkaitan dengan sesama manusia. Ibadah yang berkaitan dengan Allah seperti shalat, puasa zakat, azan, membaca al-Qur’an dan semacamnya. Sedangkan ibadah yang berkaitan dengan sesama manusia, seperti mengajar (taklim), memandikan mayat dan penggali kuburan, atau hal-hal yang berkaitan dengan keduaniawian.
Bagaimana pandangan ulama tentang ujrah dalam kontek persoalan di atas. Penulis ingin sampaikan beberapa pendapat para ulama fiqh, sebagaimana dikutip oleh Sayid Sabiq dalam Fiqh Sunnah Jilid 3, sebagai berikut ;
Menurut Imam Hanafi (80-150H/699-767M), tidak boleh memberikan upah kepada seseorang untuk shalat, puasa, menghajikan orang lain, membaca al-Qur’an, menghadiahkan pahala kepada seseorang, orang yang azan, orang yang menjadi imam dalam shalat dan lain-lain. Menurutnya, haram mengambil upah dari bentuk-bentuk ibadah seperti itu. Hal ini didasarkan pada hadits Nabi Muhammad SAW ;

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ شِبْلٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « اقْرَءُوا الْقُرْآنَ وَلاَ تَأْكُلُوا بِهِ … » رواه احمد
Dari Abdurrahman ibn Syibl berkata, bersabda Rasulullah SAW; “Bacakanlah al-Qur’an dan janganlah kamu makan (upahnya) …” (HR. Ahmad)

Alasan Hanafi, membaca al-Qur’an yang ditujukan pahalanya untuk si mayit, maka ia tidak mendapatkan pahalanya. Karena pahala membaca al-Qur’an telah ditransfer kepada si mayit . Demikian pula apalagi ia membaca al-Qur’an karena ingin mendapat upah, maka ia pun tidak memperoleh pahala, karena pahalanya telah diganti dengan upah tersebut.

عَنْ عُثْمَانَ بْنِ أَبِى الْعَاصِ قَالَ إِنَّ مِنْ آخِرِ مَا عَهِدَ إِلَىَّ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنِ اتَّخِذْ مُؤَذِّنًا لاَ يَأْخُذُ عَلَى أَذَانِهِ أَجْرًا” رواه الترمذى
Dari Utsman ibn Abi al-‘Ash berkata “Sesungguhnya apa yang dipesankan oleh Nabi kepadaku terakhir adalah, “ Seandainya kamu memilih seorang muadzin, maka dia jangan mengambil upah” (HR. Turmudzi)

Namun demikian banyak pula pendapat ulama yang mengatakan hanya makruh hukumnya. Menurut Maliki, Syafi’I dan Ibn Hazm, mengambil upah dari mengajar al-Qur’an, dan ilmu pengetahuan dibolehkan, karena ia telah melakukan pekerjaan yang jelas dengan mencurahkan untuk suatu pekerjaan yang diketahuinya. Menurut ibn Hazm “Upah itu boleh untuk diambil atas kerjanya; mengajar al-Qur’an, mengajar ilmu-ilmu yang signifikan dan sejumlah ilmu lain, termasuk dibolehkannya mengambil upah dari penulisan al-Qur’an dan ilmu pengetahuan lainnya. Hal itu tidak pernah ada larangan dalam nash Islam, karenanya mengambil upah itu dibolehkan .
Pendapat para mazhab tersebut berdasarkan pada sebuah hadits riwatyat

عن ابن عباس : أن نفرا من أصحاب النبي صلى الله عليه و سلم مروا بماء فيهم لديغ أو سليم فعرض لهم رجل من أهل الماء فقال هل فيكم من راق إن في الماء رجلا لديغا أو سليما فانطلق رجل منهم فقرأ بفاتحة الكتاب على شاء فبرأ فجاء بالشاء إلى أصحابه فكرهوا ذلك وقالوا أخذت على كتاب الله أجرا حتى قدموا المدينة فقالوا يا رسول الله أخذ على كتاب الله أجرا فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( إن أحق ما أخذتم عليه أجرا كتاب الله ) (رواه البخارى)

Dari Ibnu Abbas ra., bahwa sekelompok sahabat Nabi saw melintasi suatu kolam air. di antara mereka ada yang digigit serangga berbisa atau (ada pula) orang yang selamat. Lalu, pemilik air di antara mereka menyapa, :”Adakah di antara kalian yang bisa mengobati orang yang terkena serangga di dalam air”. Kemudian salah seorang di antara sahabat itu berangkat dan membacakan Fatihah untuk penjaga kambing (tersengat serangga), dan ia sembuh. Lalu dia (penjaga kambing itu), memberinya seekor kambing kepada para sahabat, tetapi mereka tidak mau. Mereka berkata (kepada orang yang membacakan fatihah), “Kamu sudah mengambil upah atas Kitabullah”. Sampai hal itu dibawa ke Madinah. Mereka bertanya, “Ya Rasulallah, dia telah mengambil upah atas Kitabullah”. Rasulullah menjawab, “Orang yang lebih berhak mengambil upah adalah orang yang membacakan Kitabullah” . (HR. Buchari)

Aspek tanggung jawab

Sebenarnya upah salah satu bentuk penghargaan kepada seseorang yang telah berjasa memberi manfaat bagi orang lain. Oleh karenanya para ulama memberikan beberapa syarat tentang hal-hal yang berkaitan dengan upah. 1) perjanjian (akad) yang dilandasi suka sama suka; 2) mengetahui manfaatnya sehingga tidak menimbulkan konflik di kemudian hari; 3) adanya ketentuan dalam perjanjian untuk dipenuhi ; 4) upah itu dapat diserah terimakan daan bernilai manfaat; 5) upah itu tidak dalam bentuk yang haram atau yang wajib, tapi sifatnya mubah.
Upah sebagai penghargaan ini, dilukiskan oleh Allah dalam al-Qur’an. Salah satu contohnya adalah ; 1) upah untuk isteri yang menyusui anak (QS. Al-Baqarah [2]; 233) ; dan 2) upah yang diberikan Nabi Syua’ib kepada Musa untuk menikahi salah satu putrinya setelah ia bekerja 8 tahun. (QS. Al-Qashash [28];26-27)
Menurut Sabiq, persoalan upah ini merupakan ketentuan yang disyari’atkan baik dalam al-Qur’an, al-Sunnah maupun ijma ulama. Untuk itu pula, Sabiq mengatakan bahwa upah yang akan diberikan itu harus diketahui oleh yang bersangkutan. Karena itu, orang yang mendapatkan upah tidak berarti ia kehilangan pahala atas kerjanya. Karena bekerja mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup juga menjadi suatu kewajiban.

Penutup

1. Ikhlas adalah kunci dalam setiap kegiatan baik kegiatan ibadah maupun kegiatan muamalah.
2. Bekerja baik yang berhubungan dengan ketaatan ukhrawi maupun yang berhubungan dengan ketaatan duniawi merupakan tuntutan kebutuhan hidup manusia untuk memperoleh pahala atau upah.
3. Pahala yang konotasinya pada pesan ibadah salah satu bagian dari janji Allah yang diungkapkan dalam banyak ayat al-Qur’an, sedangkan upah yang konotasinya pada pesan muamalah salah satu bagian dari syari’at islam; (al-Qur’an, al-Sunnah dan ijma’)
4. Upah tidak berarti menghapuskan pahala. Karena orang yang menerima upah dengan ikhlas, dan memberi upah dengan ikhlas pula, itulah yang berpahala.
5. Upah merupakan bentuk ta’awun (saling tolong) untuk pemenuhan kebutuhan orang yang dimanfaatkan tenaga, waktu dan fikirannya, sekaligus penghargaan (honor) atas jasanya.