Senin, 28 November 2011

PESANTREN TRADISIONAL : TERMAGINALKAN?


Oleh : Hasan Luthfy Attamimy, M.A
 
Pendahuluan

Dunia pendidikan kini semakin maju dan berkembang. Hampir di setiap sudut perkampungan, telah berdiri sekolah-sekolah formal dari mulai tingkat dasar hingga tingkat menengah.  Sementara pondok pesantren tradisional kini mulai suram, hampir tak lagi dilirik oleh masyarakat. Padahal dari sana, telah lahir para ulama yang justeru telah memberikan andil terhadap lahirnya kemerdekaan RI.
            Pondok pesantren sebagai bagian budaya bangsa Indonesia yang telah diwariskan oleh salah seorang Wali Songo[1], dalam pengembangan ajaran Islam, mulai termarginalkan, dan hanya menjadi bagian dari kenangan sejarah bangsa ini. Apa yang melatarbelakangi semua itu?. Tulisan ini mencoba menginformasikan sekelumit faktor-faktor tersebut.

Institusi Pesantren Tradisional

            Lahirnya pondok pesantren tidak lepas dari peranan para wali dalam menyebarkan Agama Islam di Indonesia yang saat itu memeluk Agama Hinda dan Budha. Sampai pertengahan abad ke 20 Pondok Pesantren masih memiliki basis yang sangat kuat di masyarakat Indonesia, sehingga lembaga ini  diperhitungkan oleh pemerintah Hindia Belanda dalam percaturan politik di tanah air. Gerakan kebangkitan bangsa dalam percaturan politik  yang merupakan ekspresi anti kolonial muncul dari kalangan ulama yang nota bene kalangan santri, atau pendiri-pendiri Pondok Pesantren.[2]
            Pondok Pesantren ini terus mengalami perkembangan sampai ke berbagai wilayah di tanah air, khususnya di Pulau Jawa, hingga ke pelosok-pelosok pedesaan. Hal ini bukan hanya sebagai misi da’wah Islam, tetapi untuk merespon kebutuhan masyarakat yang ingin menuntut ilmu Agama, yang secara khusus berbasis pada kitab-kitab klasik berbahasa Arab. Lembaga pesantren sebagai pendidikan non formal pada umumnya tidak memiliki struktur kepengurusan, kecuali pondok-pondok pesantren yang sudah mengalami perubahan system pendidikan secara formal, yang belakangan disebut Pondok Pesantren Modern, seperti Gontor, Dar el-Qolam Gintung Tangerang, Dar Rahhman, Dar Najah, dan  Ashiddiqiyah Jakarta.[3]
            Lembaga  pondok pesantren tradisional tidak memiliki system manajemen dan administrasi sebagaimana lazimnya lembaga pendidikan formal. Untuk masuk pondok sebagai santri, cukup hanya meminta izin kepada Kiyai sebagai pemimpin tunggal. Karena lembaga ini tidak memiliki struktur organisasi kepengurusan. Oleh karena itu, system yang berlaku di pondok pesantren tradisional tidak memiliki standar waktu. Artinya tidak ada system kelulusan, dan belajar tanpa mengenal batas waktu. Tidak ada pula kurikulum yang dijadikan target untuk dicapai, dan tidak ada system penilaian untuk menguji kemampuan santri. Semuanya berjalan secara alami, dan sekeinginan santri untuk belajar dan tinggal di pondok. Tidak pula dikenal batas usia untuk mengikuti sebuah mata pelajaran. Satu kitab yang dikaji, misalnya Kitab Fathul Qorib yang membahas fiqh, dipelajari oleh semua usia, tanpa ada klasifikasi junior (santri baru) dan senior (santri yang sudah lama). Oleh karena itulah lembaga ini disebut tradisional.

System Pendidikan dan Kitab-kitab

            System pendidikan yang diajarkan oleh Kiyai kepada para santrinya adalah system bandungan (mendengar), ceramah, dan sorogan. System seperti ini berlaku disemua lembaga Pesantren tradisional. System bandungan yaitu para santri masing-masing membawa kitab yang dipelajari dan mencoret terjemahan sesuai dengan yang diterjemahkan oleh Kiyai. System penterjemahan itu dilakukan dengan menggunakan symbol-simbol tertentu. Misalnya kata “Utawi… “, disimbolkan dengan bentuk mirip huruf “Q”. kata “Iku…” disimbolkan dengan bentuk mirif huruf “U”. Translit dari bahasa Arab, umumnya digunakan bahasa Jawa, kemudian disyarahkan (dijelaskan) dengan bahasa Sunda.[4] Kalau pun ada yang mentranslit ke dalam bahasa sunda, hanya sedikit sekali, seperti di Pondok Pesantren Kedaung Bogor.[5] System ceramah adalah penjelasan atas teks (redaksi) materi bahasan setelah diterjemahkan kedalam bahasa Jawa. Selain kedua system tersebut ada juga system sorogan. Yaitu   santri membaca dan menterjemahkannya dihadapan Kiyai (tanpa penjelasan Kiyai) secara individual dan bergiliran. Sedikit sekali pondok Tradisional yang menggunakan system hafalan, seperti yang dilaksanakan oleh KH. Muhammad Mansur Jembatan Lima Jakarta[6]
            Materi pelajaran yang diajarkan oleh Kiyai, tergantung pada disiplin ilmu yang dimilikinya. Jika ia ahli fiqh, maka kitab-kitab yang dikaji hanya sekitar dunia fiqih. Seperti kitab ; Fathul Qorib ( فتح القريب ), Fathul Mu’in ( فتح المعين  ), I’anatu Thalibin ( اعانة الطالبين  ) dan sebagainya. Jika ia ahli Tafsir, maka yang dikaji adalah Tafsir, seperti kitab ; Jalalain ( الجلالين ), tafsir Munir ( تفسير المنير ), dan sebagainya. Jika ia seorang ahli Nahwu dan Sorf, maka yang diajarkan lebih dominan Nahwu – Sorf, seperti kitab ; Matan Jurumiyah ( الاجرومية  ), Imrithi         ( عمريطى ), Mutammimah (  المتممة ), Alfiyah ibn Aqil ( الفية بن عقيل  ), Kailani ( كيلانى  ), Yaqulu ( يقول ) dan sebagainya.
Ada juga istilah pasaran dalam dunia pondok Pesantren Tradisional ini. Pasaran adalah pengajian yang dilaksanakan satu tahun sekali pada bulan tertentu dengan kajian khusus. Biasanya, kitab yang dikaji hanya satu disiplin ilmu saja, dan itupun diadakan di pondok pesantren tertentu saja. Dan kitab yang dipelajari biasanya kitab yang langka diajarkan, seperti kitab Hadits Shahih Bukhori, Shahih Muslim, al-Jami’al Shaghir dan kitab-kitab besar lainnya. Pelaksanaan kegiatan pengajian secara pasaran ini, berlangsung satu minggu atau satu bulan lamanya, tergantung pada ketebalan kitab tersebut.  Di kalangan para santri tradisional, pondok-pondok yang menyelenggarakan kajian pasaran ini sudah tidak asing. Misalnya, di Cianjur, pada bulan Ramadhan diadakan pasaran dengan kajian kitab Shahih Buchori;  Di Sukabumi, Darul Hikam diadakan pasaran dengan kajian kitab Jam’ul Jawami;  Di Gerendeng Tangerang yang dikaji kitab, Al-Fiyah ibn Malik dan Jam’ul Jawami’. Demikian pula di beberapa pondok pesantren besar lainnya di Jawa Barat.
Kajian kitab system pasaran ini, dihadiri umumnya oleh para santri senior yang datang dari berbagai pesantren,  rata-rata berusia 25 tahun ke atas dan umumnya  mereka belum berkeluarga. Sehingga tidak sedikit para santri yang menikah di atas usia 35 tahun. Saat itulah mereka meninggalkan pondok.  Dengan bekal keilmuan yang diperolehnya dari berbagai pesantren, tanpa berbekal ijazah, hanya dengan rido sang Kiyai, mereka mendirikan pesantren sendiri di tempat yang mereka anggap cocok.

Kobong (Pondokan)

            Sudah menjadi bagian tradisi yang berlangsung cukup lama, kehidupan para santri tinggal di pondokan yang disebut kobong. Kobong –mungkin sebuah istilah santri Jawa Barat- yaitu tempat mereka tinggal; tidur, istirahat, dan muzakarah dan muthala’ah (belajar individual dan kelompok). Tempat tinggal ini umumnya sebuah bangunan yang terbuat dari bilik-bilik[7], dan kemudian disekat kecil-kecil yang hanya diisi oleh 2 sampai 3 orang saja.  Ada pula kobong yang dibuat secara terpisah-pisah, yang nampak seperti gubuk, dengan bentuk jendela kecil seperti penjara, mengelilingi majlis tempat mereka belajar  dan rumah Kiyai. Mungkin saat ini, pesantren yang memiliki kobong semi permanen hanya berada di wilayah-wilayah yang dekat perkotaan, seperti Pondok Pesantren Assalam Gerendeng Tangerang. Walau system pembelajaran para santri masih tradisional, namun bangunannya sudah  permanen. Karena pondok ini, persis di tengah pemukiman yang nota bene pegawai kantor, karyawan, mahasiswa dan pelajar, dan tak jauh dari Masjid al-Ittihad, dan masjid al-A’zham Kota Tangerang[8].
            Di daerah-daerah wilayah Banten, kobong-kobong itu masih menjadi ciri khas pondok Pesantren tradisional sampai saat ini. Seperti penulis ungkapkan bahwa kobong-kobong tersebut diisi oleh para santri yang belajar di pesantren-pesantren tersebut. Hanya saja tidak lagi banyak diminati oleh masyarakat setempat. Kalaupun ada yang mengisinya, hanyalah masyarakat ekonomi lemah, yang notabene tidak memiliki biaya untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Atau anak-anak penduduk setempat yang hanya sekedar mengisi kegiatan pondok untuk menghidupkan pengajian di waktu magrib dan subuh. Setelah itu mereka pulang ke rumah masing-masing dan bersekolah.[9]  

Problematika Pondok Pesantren

            Betapapun Pondok Pesantren telah banyak melahirkan para ulama yang popular dan karismatik, tetapi belakangan termaginalkan oleh kondisi zaman yang menawarkan pendidikan yang menjanjikan masa depan. Asusmsi masyarakat modern terhadap dunia pesantren tradisional tidak memberikan harapan untuk bekerja. Karena itu mereka menitipkan  anak-anak mereka ke jenjang pendidikan formal, baik sekolah-sekolah umum atau sekolah-sekolah Agama (madrasah), yang berdiri di pelosok-pelosok desa yang secara duniawi dianggap cukup menjanjikan masa depan anak-anak. Dengan bekal ijazah, minimal mereka dapat mencari pekerjaan, walau di perusahaan kecil. Sebaliknya,  anak-anak yang tamat  pesantren tradisional yang notabene tidak memiliki ijazah merasa kesulitan untuk melamar pekerjaan ke perusahaan-perusahaan. Apalagi untuk melanjutkan sekolah ke Perguruan Tinggi. Hal ini merupakan realita kehidupan masa sekarang, dimana bukti fisik menjadi persyaratan mutlak.
            Selain factor di atas, pondok pesantren tradisional tidak memiliki kurikulum sebagai landasan pencapaian pembelajaran bagi para santri. Selain mata pelajaran yang memfokuskan pada masalah Agama dan kitab-kitab berbahasa Arab, para santri juga tidak diberikan mata pelajaran umum, seperti matematika, IPA (Fisika, Kimia, Biologi), IPS (Geografi, Ekonomi, Sejarah), Bahasa Inggris dan sebagainya, guna membekali mereka dalam menghadapi kebutuhan umat yang semakin berkembang.  Sebab kebutuhan umat tidak hanya terbatas pada persoalan ubudiyah, tetapi juga pada persoalan yang berkaitan dengan muamalah yang erat hubungannya dengan norma-norma Agama. Seperti cloning, pernikahan melalui telekonprens dan sebagainya.
            Berbeda dengan pendidikan formal, lembaga pendidikan di pondok pesantren lebih pada penerapan peodalisme dan ta’asubisme (ashabiyah) tidak demokratis. Walaupun tidak pernah diajarkan oleh Kiyai, tapi hal ini muncul secara alami, karena budaya masa lalu.  Misalnya, jika ada santri yang menyela kiyai yang sedang mengajar dengan melontarkan pertanyaan yang ia sendiri tidak paham, atau mengkritik pendapat Kiyai,  disebut su’ul adab (tidak sopan) oleh yang lainnya. Jadi seorang santri harus tetap mendengar ketika kiya sedang mensyarahkan kitab, paham atau tidak paham. Apa yang dikatakan Kiyai seakan sebuah kebenaran mutlak, karena dianggap tidak sopan bila santri memberikan alasan, walau masuk akal. Oleh sebab itu, sering kali ketika orang lain yang berbeda pendapat dalam masalah-masalah furu’iyah, divonis salah. Misalnya, penulis masih ingat, pada tahun 70 an, orang yang salat subuh tidak berkunut, atau salat terawih hanya 8 rakaat disebut kelompok Muhammadiyah. Dan istilah Muhammadiyah dalam pemahan santri ketika itu, umumnya bukan orang Islam (mungkin separuh Islam). Untuk mendengar kata “Muhammadiyah” saja rasanya alergi. Semua itu dikarenakan karena wawasan para santri tentang persoalan muamalah sangat minim. Pandangan seperti ini justeru masih ada di pedesaan-pedesaan yang kondisi pendidikannya masih terbelakang.
            Persoalan lain yang muncul adalah santri identik dengan kampungan, kumuh dan berfikir tidak moderat. Kondisi seperti ini, seperti sudah menjadi image masyarakat yang sudah bersentuhan dengan kekinian. Pemahaman  jumud  (statis) dalam masyarakat pesantren tradisional yang tidak menerima modernisasi keilmuan dianggap masih kental hingga dewasa ini. Semangat keberagamaan dan kesetiaan pada Kiyai di satu sisi perlu kita hargai, tetapi di sisi lain menimbulkan fanatisme yang berlebihan sehingga melahirkan interpertasi keliru dalam memahami perkembangan zaman. Semua itu seakan menjadi fakta keterbelakangan umat Islam, sehingga pesantren tradisional tidak lagi diminati oleh masyarakat umum. Dan ia terpinggirkan, nyaris punah dari budaya bangsa yang aman berharga.  

Penutup

a.      Kesimpulan

            Melihat kondisi pondok Pesantren tradisional dewasa ini kian suram dan tidak lagi dilirik oleh masyarakat. Padahal lembaga ini telah banyak melahirkan ulama-ulama yang cukup terkenal. Hal ini disebabkan banyak factor. Antara  lain; pertama, lembaga pendidikan formal dari TK sampai dengan SLTA sudah berdiri di daerah-daerah, dengan system pendidikan yang jelas dan terarah. Lembaga pendidikan formal juga cukup menjanjikan masa depan para siswa untuk bisa bekerja atau melanjutkan ke tingkat perguruan tinggi. Kedua, lembaga tradisional yang tidak merubah system pendidikannya dengan system formal (sekolah modern) hanya akan menjadi prasasti sejarah bangsa, yang kemudian menghilang tanpa sisa. Ketiga, kajian kitab-kitab kuning (klasik) yang diajarkan di pondok pesantren kurang diminati oleh masyarakat pelajar, karena tidak dibarengi system klasikal, sehingga dianggap berat untuk dipelajari bagi para mubtadi’in (pemula). Keempat, system pembelajaran yang tidak demokratis,  tidak melahirkan santri yang kritis terhadap persoalan-persoalan actual yang berkembang di masyarakat. Kelima, system pembelajaran yang berlaku di pesantren tradisional, tidak memiliki batasan waktu, sehingga tidak mengenal kelulusan studi. Oleh karena itu, terkadang ada santri yang puluhan tahun masih hidup di pesantren.

b.      Saran

             Gambaran di atas merupakan kendala bagi pondok pesantren tradisional untuk tetap eksis, sepanjang lembaga-lembaga tersebut tidak merubah system yang ada dan menyesuaikan dengan perkembangan zaman untuk diterima oleh masyarakat. Kita bisa melihat bagaimana pesantren modern dengan mengkemas system pembelajaran dan memenage aspek-aspek lainnya yang berkaitan dengan kebutuhan umat, dilirik oleh masyarakat dewasa ini. Bahkan menjadi kebanggaan orang tua yang menitipkan anak-anaknya di pesantren modern, seperti Podok Pesantren Gontor, Gintung atau Pesantren Internasional yang saat ini sedang digarap oleh Yusuf Mansur, di daerah Ketapang Tangerang.
           
           


[1] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2001, Ensiklopedi Islam, Jil. 5 hal. 174-182).
[2] L. Stoddart, Dunia Baru Islam, tpn, hal. 302 – 310,
[3] Dar el-qolam Gintung Tangerang, dipimpin oleh KH. Rifai (alm), Dar Rahman Jakarta dipimpin oleh KH, Syukron Ma’mun, dan Dar Najah dipimpin oleh KH. Mahrus Amin, ketiganya merupakan alumni Gontor. Kecuali KH. Nur Iskandar berlatar belakang dari pesantren tradisional.
[4] Sistem ini berlaku hampir di seluruh Pondok Pesantren di Jawa Barat, dari mulai daerah Banten, Serang, Sukabumi, Cianjur , Tasikmalaya, Ciamis dan sebagainya. Umumnya menggunakan bahasa Jawa untuk menterjemahkan kata-kata yang termuat di dalam kitab yang dikaji.
[5] Pondok Pesantren ini di pimpin oleh KH. Basri Kedaung Bogor. Pondok ini terletak di wilayah Barat wilayah kota Bogor, melalui Jasinga, dan hampir berbatasan dengan wilayah Kabupaten Lebak Banten. KH. Basri salah seorang ulama yang aktif di PPP, dan beliau beberapa periode menjadi Anggota DPR/MPR sejak Alamsyah dan J. Naro. Sebelumnya, bersama-sama KH. Syaikhu dan Idham Khalid aktif dalam organisasi politik.
[6] KH. Mohammad Mansur (w. 1966) Jembatan Lima Jakarta, selalu menerapkan system hafalan bagi para santrinya dua kali sehari, pagi dan sore, sebelum dan sesudah para santri mengaji kitab secara jama’i. KH. Muhammad Mansur yang dikenal Tuan Guru, orang yang aktif dalam organisasi Nahdhatul Ulama masa KH. Wahid Hasyim Jombang. Dalam percaturan politik, beliau bersahabat dengan KH. Agus Salim, Moh. Natsir, HOS. Cokroaminoto, KH. Ahmad Dahlan dan Mas Mansur. (Hasan Luthfy Attamimy, Sejarah Tapak Tilas KH. Muhammad Mansur, Wawancara penulis dengan Putrinya Hj. Rofi’ah (w. 2007), dan Cicitnya, KH. Fatahillah Achmadi, Jakarta,  Agustus 2003, hal. 16)
[7] Bilik adalah tirai yang di anyam seperti tikar yang dibuat dari bahan bambu yang  ditipiskan (diperhalus) untuk menutupi ruangan.
[8] Penulis pernah belajar di Pondok pesantren Assalam, selama 3 tahun (1979-1981) yang kemudian melanjutkan kuliah di Lembaga Pengajaran Bahasa Arab Saudi di Jakarta (LPBA) yang sekarang LIPIA (selesai tahun 1984)
[9] Informasi yang diperoleh dari teman dekat pondok yang saat ini telah menjadi Kiyai Pondok di Pandeglang, KH. Aang Khudori, pada saat Haul KH. Abdurrahim Gerendeng, ke XIII,  2008.