Dulu “Aku” ada dan tak ada. “Aku”
dulu adalah makhluk yang melayang di angkasa, alam ruhaniah. “Aku” adalah wujud dari bagian
jagat raya yang diciptakan oleh Allah Rabbul 'Izzah, Tuhan Semesta. “Aku” bukan
Tuhan, tapi “Aku” adalah kemahakuasaan dan kesempurnaan-Nya Yang Abadi. Bukan
“Aku” yang maha sempurna, tapi Dia yang Maha Sempurna. “Aku” juga bagian dari
mereka yang berawal dan berakhir, yang berawal dari tiada menjadi ada dan
kembali tiada, hidup di alam ada, dan kembali ke alam ada yang kelak
disaksikannya setelah “Aku” menemui kematian.
Tuhan menjelmakan “Aku” dengan sebait perjanjian, “… alastu birabbikum…”
(“… bukankah Aku Tuhanmu…”). Lalu “Aku” menjawab, “… qōlū balā syahidnā…”, (tentu,
Engkau Tuhan kami, kami bersaksi …”) (QS. Al-‘Araf [7]:172). “Aku” mengikat perjanjian ruhani dengan
Tuhan, sebuah perjanjian yang mutlak dikerjakan dan tak ada kepura-puraan dalam
perjanjian itu dengan segala konsekuensinya.
Kemudian “Aku” dijelmakan dalam alam yang penuh dusta, relatif, penuh interpretasi dan interpensi,
sekaligus alam kebenaran dan kesaksian. Di sinilah “Aku” lalai, dan lalai pada
ikatan perjanjian ruhani itu. Ikatan penjanjian antara “Aku” dengan Tuhan
sering pudar dalam perjalanan hidupku. Tuhan adalah Tuhan yang mengetahui
segala sisi “Aku”. “Aku” tenggelam dalam kegelapan oleh segala materi kehidupan
yang fana, padahal “Aku” akan menempuh perjalanan panjang. Dusta adalah
karakter manusia yang berkembang dalam budaya kehidupan fana. Kebenaran adalah
relatif ketika ditafsiri oleh bangsa manusia yang lahir dari Tuhan Maha
Absolut. Interpretasi terhadap kebenaran absolut karena lahir dari interpensi dengan aneka bentuknya. Sementara “Aku” tetap
adalah “Aku” sebagai bagian dari kekuasaan absolut Tuhan. “Aku” menjadi bagian
dari interpretasi itu dalam budaya manusia yang mencari kebenaran absolut.
Karena “Aku” bagian dari alam semesta ini yang selalu dicari “definisi”nya oleh
sebangsa “Aku”. Pertanyaan yang muncul
dalam alam sebangsa “Aku” adalah; “Siapa “Aku”?”, “dari mana “Aku”?”, “kemana
“Aku”?”, “untuk apa “Aku”?”, dan “bagaimana “Aku”?”. Semuanya bagian dari
pembahasan yang penuh interpretasi. Karena “Aku” makhluk yang penuh misteri.
Ruh dan jasad, sesuatu yang menyatu tapi memiliki wujud lain dalam diri “Aku”.
Kehebatan Tuhan yang menata organ-organ kedua bagian ini, dengan sistem yang
sangat menakjubkan adalah bukti kekuasaan-Nya.
Dalam kontek ini, para filosof, seperti Ibn Sina, Al-Farabi, Gazali, Ibn
Rusyd serta tokoh-tokoh lainnya telah membahas soal “Aku” dalam deretan kalam
yang cukup panjang, berpolemik dalam memahami hakikat kebenaran.
Untuk mengenal hakikat kebenaran, hanyalah Dia yang tahu. Sedangkan
manusia memiliki keterbatasan pengetahuan untuk menjelajah kekuasaan-Nya,
sehingga memunculkan penafsiran yang berbeda terhadap kebenaran itu. Namun
demikian, Tuhan selalu ingin dikenal oleh manusia, meskipun ilmu pengetahuannya
terbatas. Ciptaan-Nya inilah pada hakikatnya gambaran Tuhan Yang Maha Esa, untuk dikenali oleh manusia,
seperti “Aku”. “Aku” tidak akan mengenal Dia tanpa ada telapak tangan-Nya.
Keinginan Tuhan untuk dikenal adalah hal yang wajar, yang secara logika akan
bertanya, “Bagaimana “Aku” mengenal
sesorang tanpa karyanya?”
Dalam hadits Qudsi, Tuhan pernah menyampaikan sebuah pernyataan ;
“…Kuntu kanzan makhfiyyan, fa’ahbabtu an-‘u’rof, fakholaqtu al-khalqo,
fa’aroftuhum bi, fa’arofūni…. ” (..Aku dulu adalah harta
yang tersembunyi, kemudian aku ingin dikenal, maka Kuciptakan makhluk, Aku
mengenal mereka, lalu mereka mengenal Aku…)[1]
Karya agung-Nya ini sesungguhnya untuk membangun ketawadhu’an “Aku” dan
sekaligus pengakuan atas kekuasaan-Nya. Sehingga “Aku” sadar bahwa dibalik
semua ini ada interpensi Tuhan yang memelihara, menjaga dan menyusun serta
mengatur kehidupan dengan segala ukurannya yang tepat, dan tak akan pernah
berpihak kepada siapapun, karena Dia tidak memiliki kepentingan apapun dari seperti
dan sebangsa “Aku”. “Ooooohhhhh, Dia Maha Kaya dan Sempurna…”, sesempurna “Aku”
yang diciptakan oleh-Nya. “… Laqod kholaqna al-insana fi ahsani taqwim…” (Sesungguhnya
telah Kami ciptakan manusia dalam bentuk yang sempurna) (QS. Al-Tin [95]:4)
Mestinya “Aku” mengenal Tuhan lewat diri “Aku” yang berstruktur
mengagumkan (ajaib). Ada pernyataan “… Man ‘arofa nafsahu, arofa
robbahu…” (… Siapa yang mengenal dirinya, niscaya ia akan mengenal Tuhannya…)[2].
Inilah sebuah pernyataan yang mestinya memotivasi “Aku” untuk mengenal Tuhan
Rabbul 'Izzah.
[2] Al-Siyagi, Tuhfat al-Musytaq ila Syarhi Abyat Maula
Ishaq, (Maktabah Syamilah, Mawqi’ al-Waraq, tt), h. 15. (Menurut al-Albani,
hadits ini dhaif, sebagaimana dikemukakan oleh Imam Nawawi “tidak mempunyai
sumber asli”, kecuali hanya ungkapan
orang sufi saja), lihat Albani, jil ke-1, h. 143.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar