Oleh : Hasan Luthfy Attamimy
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (al-Baqoroh:155).
Ayat ini berbicara tentang cobaan yang Allah timpakan kepada manusia. Ketika cobaan itu datang menimpanya, masihkan ia ingat kepada Allah dan menerimanya dengan penuh kesabaran?. Cobaan itu sesungguhnya proses peningkatan iman dan pendewasaan pengalaman hidup manusia. Melalui cobaan itu, manusia akan merasakan kenikmatan, sebab ada kesan yang bisa dikenang dalam hidupnya. Tetapi ini hanya bisa dilakukan oleh orang yang beriman dan menerimanya dengan ikhlas. Orang yang tidak beriman dan tidak ikhlas menerima cobaan itu, boleh jadi ia akan putus asa, dan menganggap cobaan itu suatu beban yang menyiksa.
Firman Allah;
Dan jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat (ni’mat) dari kami, kemudian rahmat itu Kami cabut dari padanya, pastilah dia menjadi putus asa lagi tidak berterimakasih. (Hud : 9)
Manusia tidak jemu memohon kebaikan, dan jika mereka ditimpa malapetaka dia menjadi putus asa lagi putus harapan. (Fushshilat:49)
Dari sekian cobaan (ujian) – seperti diungkap al-Quran pada ayat di atas – di antaranya kemiskinan. Kata miskin (tunggal) dan masakin (Jamak) diungkap oleh Allah dalam al-Qur’an sebanyak 23 kali. Kata tersebut sering dirangkaikan dengan kata Faqir. Seperti di antaranya dimuat di dalam Surat Attaubah : 60. Rangkaian tersebut merupakan kesejajaran dari sudut tingkat ekonomi, bukan dari aspek intelektual dan keimanan. Menurut sebagian ulama bahwa orang miskin itu adalah orang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dari apa yang telah diusahakannya. Berbeda dengan Sayid Sabiq; Tidak ada perbedaan antara fakir dan miskin, jika dipandang dari tingkat kebutuhan hidup dan kepapaannya.
Kemiskinan bukanlah peristiwa baru seperti terjadi pada saat ini. Tetapi kemiskinan telah berlangsung sejak manusia ini menginjakkan kakinya di bumi. Oleh karenanya al-Qur’an, selain menceritakan tentang manusia masa lampau yang notabene miskin, juga memberi pesan kepada manusia bahwa kemiskinan adalah salah satu ujian yang harus dihadapi dengan sabar, bukan ditangisi dengan penuh penyesalan.
Kemiskinan jangan dianggap suatu siksaan, apalagi menyalahkan takdir Allah. Tetapi ia harus dihadapi dengan senyum dan tawakkal. Sehingga kemiskinan bisa menjadi nikmat baginya. Kemiskinan bukan pula murka Allah, tetapi salah satu bentuk kasih sayangNya yang mengandung hikmah.
Allah berfirman ;
Boleh jadi sesuatu yang kamu benci, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi sesuatu yang kamu sukai, ia amat buruk bagimu (al-Baqoroh:216)
Bagi orang yang kurang atau tidak bersyukur, kemiskinan menjadi sesuatu yang menyiksa, dan menganggap kemewahan sebagai kesenangan abadi. Belum tentu!. Boleh jadi kemewahan dunia bisa menyeret dirinya pada kezaliman
Setiap orang perlu mengambil hikmah dari kemiskinan yang menimpa dirinya. Pertama, kemiskinan sebagai proses peningkatan iman, dan mendorong untuk lebih dekat kepada Allah. Kedua, orang miskin –degan kemiskinannya– lebih banyak mengenal tetangganya, dibandingkan orang kaya yang hidup eksklusif. Sebab bagi orang miskin, waktu luang untuk bersilaturrahmi lebih banyak baginya. Sebaliknya orang kaya, karena kesibukkan duniawinya, sangat sulit untuk bersilaturrahmi dengan tetangganya. Kita bisa melihat, beberapa Majlis Ta’lim sebagai media sillaturrahmi lebih didominasi oleh orang-orang miskin ketimbang orang-orang kaya. Itu terjadi hampir di semua Majlis Ta’lim. Ketiga, selain itu, orang miskin, lebih terbuka pintu rumahnya untuk didatangi dari pada orang kaya yang lebih tertutup. Bisa difahami, sebab orang miskin merasa lebih aman untuk meninggalkan rumahnya yang notabene tidak memiliki benda-benda berharga seperti orang-orang kaya. Acapkali orang miskin, jika pergi ke suatu tempat yang tidak membutuhkan waktu lama, ke masjid atau ke majlis ta’lim, tidak perlu harus menggembok pintu rumahnya. Tentu saja berbeda dengan orang kaya, hanya pergi ke tetangga saja ia harus sibuk mengunci pintunya. Keempat, orang miskin lebih bebas untuk mengkonsumsi makanan jenis apa pun,asal halal. Tanpa harus memikirkan menu masakan apa yang akan dikonsumsinya. Nampaknya orang miskin, dengan kemiskinannya lebih merdeka dari para orang kaya.
Tentu saja gambaran di atas dipandang dari sudut positif, yang jika dipikirkan sesungguhnya mengandung hikmah bagi orang miskin yang pandai mensyukuri ketentuan Allah. Bagi orang yang pandai mensyukuri ni’mat Allah, ada atau tidak ada harta baginya sama saja. Ketika ia susah ia tidak mengeluh, dan ketika ia senang ia tidak lupa Allah. Orang seperti ini, tentu bisa menikmati kemiskinannya.
Namun demikian, al-Qur’an juga menganjurkan umatnya agar tidak terlena dengan kemiskinan. Sebab kemiskinan bisa juga mengantarkan seseorang kepada kemusyrikan.
Dan carilah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi, dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu (QS. Al-Qashash:77)
Rasulullah SAW mengingatkan seperti bersabda ;
Kemiskinan memungkinkan orang menjadi kafir (al-Hadits)
Rasulullah SAW selalu memuji orang yang bekerja dari hasil keringatnya sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa merubah kehidupan yang miskin merupakan keharusan bagi setiap orang untuk bekal ibadah kepada Allah. Dengan hidup cukup, kebututuhan keluarga dapat diatasi, terutama kebutuhan pendidikan. Sebab pendidikan dapat mengantarkan seseorang memahami makna hidup, sehingga ia menjadi mulia.
Dalam banyak ayat, Allah mengilustrasikan perbedaan orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu seperti malam dan siang, atau orang buta dengan orang yang melek.
Katakanlah (hai Muhammad) ”Apakah sama orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu. (QS. Az-zumar : 9)
Dengan ilmu itu pula dapat mengantarkan manusia hidup berkecukupan. Kalau pun ia berkecukupan, harta kekayaannya dapat diolah dan dinafkahkan pada yang positif. Sebaliknya, jika orang yang berilmu itu tetap dalam kondisi miskin, ia tidak akan putus asa, dan kemiskinannya dianggap menjadi hikmah baginya. Rasulullah bersabda “Barang siapa yang ingin (kemewahan) dunia, maka harus dengan ilmu, dan barang siapa yang ingin (kemewahan) akhirat, maka harus dengan ilmu. Dan barang siapa yang ingin keduanya harus (pula) dengan ilmu.
Harta dalam Islam, bagian yang signifikan untuk dimanfaatkan lahan ibadah. Dengan harta ia dapat melengkapi rukun islam dengan beribadah haji. Dengan harta ia dapat memiliki rumah untuk menjaga kehormatan keluarganya, dengan harta ia dapat memberi pendidikan kepada keturunannya, dengan harta ia dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya sehingga ia tidak menjadi pengemis yang meminta-minta uluran tangan orang lain, bahkan dengan harta ia dapat membantu kebutuhan orang lain. Oleh karena itu harta menjadi penting bagi kehidupan manusia, asalkan manusia tidak terjebak oleh harta yang dalam bahasa al-Qur’an disebut sebagai mata’ul gurur (kesenangan yang menipu).
Ali ibn Abi Thalib, mengatakan “Kebahagiaan seseorang itu ada tiga pada tiga unsure ; kendaraan yang ideal, rumah yang ideal, dan isteri yang ideal (solehah)”
Dengan kendaraan ia bisa bersillaturrahim bersama keluarganya, dapat mencari usaha dan sebagainya. Dengan rumah ia bisa menjaga kehormatan keluarganya dan melindunginya dari segala yang mengancam jiwanya, dan dengan isteri yang solihah, ia dapat tenteram di rumah, dan membimbing keluarganya dengan kasih sayang, yang dapat mempengaruhi ketenangan suami dalam bekerja.
Penutup
Bagi seorang muslim yang istiqomah dalam menatap kehidupan ini, miskin dan kaya tidak akan merubah sikapnya. Dengan miskin ia akan sabar dan dengan harta ia akan bersyukur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar