A.
Pendahuluan
Indonesia
sebagai Negara mayoritas muslim terbesar di dunia, memiliki catatan penting
dalam dinamika pengembangan islamisasi. Lahirnya berbagai basis keagamaan tidak
bisa dipisahkan dari peranan para alim ulama dan cendekiawan muslim yang
notabene sebagai penda’i yang kemudian mengembangkan
islamisasi tersebut melalui berbagai lembaga-lembaga pendidikan, baik formal maupun
non formal, seperti Pondok Pesantren
Tradisional, Pondok Pesantren Modern, Majlis Ta’lim dan sekolah-sekolah hingga
tingkat perguruan tinggi lainnya.
Islamisasi
terus berkembang dengan berbagai variasi pemahaman dikalangan masyarakat. Ada
masyarakat muslim tradisional dan ada masyarakat muslim moderat. Demikian
halnya dengan organisasi-organisasi masyarakat yang tidak lepas dari aspek ciri
khas keagamaannya, seperti NU, Muhammadiyah, Persis, dan lain-lain telah
membawa pengarus besar terhadap image masyarakat tentang pemahaman
Islam. Terjadinya perbedaan yang muncul adalah interpretasi atas teks-teks
al-Qur'an dan hadits yang ditalarbelakangi oleh berbagai aspek. Di antaranya,
perberdaan tingkat intelektual, sosial-budaya, politik, keterbatasan pemahaman,
fanatisme kelompok dan golongan serta keterikatan tradisi yang dianggap menjadi
fitnah.
Kondisi seperti
ini tidak akan pernah berhenti, dan akan terus bergulir dalam sejarah
kemanusiaan. Mengingat al-Qur'an, sebagai korpus terbuka, memang berpeluang
untuk ditafsirkan oleh siapapun yang memiliki kompetensi di bidangnya. Namun
tidak sedikit pula, tafsir-tafsir al-Qur'an dimunculkan oleh orang-orang yang
justeru tidak memiliki kapasitas di bidangnya, sehingga melahirkan pemahaman
keliru. Konsep jihad dan qital yang tertuang di dalam al-Qur'an,
misalnya telah menimbulkan vonis terhadap kelompok garis keras dengan sebutan ‘teroris’
atas penafsirannya yang tidak komprehensip. Padahal bukan ayatnya yang keliru,
tetapi pemahaman terhadap teks tersebut yang tidak dihubungkan dengan ayat
lain, atau tidak dikomunikasikan dengan asbab nuzul ayat. Sehingga dalam
mengimplementasikan status ayat menjadi suatu petaka. Bukan sebagai rahmah.
Kasus Bom
Bali 2002 (disebut juga Bom Bali I)adalah rangkaian tiga peristiwa
pengeboman yang terjadi pada malam hari tanggal 12
Oktober 2002. Dua ledakan pertama terjadi di Paddy's Pub dan Sari Club (SC) di
Jalan Legian, Kuta, Bali. Tercatat 202 korban jiwa
dan 209 orang luka-luka atau cedera, kebanyakan korban merupakan wisatawan
asing yang sedang berkunjung ke lokasi yang merupakan tempat wisata tersebut.[1] Kemudian
terjadi lagi, pengeboman Bali 2005
pada 1 Oktober 2005 dengan korban sedikitnya 23
orang tewas dan 196 lainnya luka-luka.[2]
Fenomena ini,
tentunya membuat prihatin bagi Indonesia yang notabene mayoritas muslim dan
dikenal sebagai bangsa yang memegang teguh nilai-nilai budaya ramah dan santun.
Tetapi justeru mendapatkan julukan sarang teroris. Sehingga berdampak pada
kegiatan dakwah Islam yang dilakukan oleh orang-orang saleh. Bahkan imbas ini
dirasakan oleh para khatib Jum’at yang bertugas di beberapa masjid di berbagai
gedung pemerintahan, maupun hotel-hotel yang disinggahi oleh non muslim. Mereka
harus diperiksa sebelum masuk gedung demi keamanan. Perlakuan ini bukan hanya tidak pantas, tapi
berlebihan. Karena mereka sudah terjadwal dalam agenda jumat tahunan yang
diselenggarakan oleh lembaga-lembaga tersebut. Tapi harus mendapatkan
pemeriksaan yang sama dengan masyarakat lain sebagai jamaah.
Dalam makalah
ini, Penulis ingin melihat, bagaimana sebenarnya jihad dan qital (perang) dalam
Islam?. Dan bagaimana pula konsep jihad dan qital dalam pandangan mufassirin?. Kapan
peperangan (qital) itu diperbolehkan?, dan siapa yang boleh diperangi?
B.
Pengertian
Jihad dan Qital
Secara
etimologi, kata “Jihad” berasal dari akar kata, “Jahada – Yajhadu – Juhdan –
Jihadan” ( جهد –
يجهد – جُهْدًا – جهادًا ),
berarti kekuatan, kemampuan, kesulitan, dan kelelahan. Dari pengertian
tersebut, dipahami bahwa jihad membutuhkan kekuatan, tenaga, pikiran maupun
harta. Pada dimensi lain, bahwa jihad pada umumnya mengandung arti risiko
kesulitan dan kelelahan di dalam pelaksanaaanya. Kata ini diungkap dalam al-Qur'an sebanyak 41
kali.[3]
Dalam
terminologi Islam, kata jihad diartikan sebagai perjuangan secara
sungguh-sungguh dengan mengerahkan segala potensi dan kemampuan yang dimiliki
untuk mencapai tujuan, khususnya di dalam melawan musuh atau di dalam
mempertahankan kebenaran, kebaikan dan keluhuran.[4]
Meskipun demikian, istilah jihad yang dijumpai dalam al-Qur'an tidak semuanya
berarti berjuang di jalan Allah, karena ada juga ayat yang menggunakan kata
jihad untuk pengertian ‘berjuang dan berusaha seoptimal mungkun untuk mencapai
tujuan, walaupun tujuan yang dimaksud belum tentu benar. Seperti diungkap di dalam QS. Al-‘Ankabut
[29]:8, dan QS. Lukman [31]:15. Sebab kedua ayat tersebut berbicara dalam
kontek hubungan antara anak yang beriman dan orang tuanya yang kafir.
Sedangkan kata
“Qitāl” berasal dari kata “Qotala-Yaqtulu-Qotlan-Qitalan” ( قتل – يقتل – قتلا - قتالا ) berarti merendahkan,
menghina, melecehkan (idzlal), atau
membunuh, mematikan. Kata “qital” ( قتال ) merupakan kata bentuk
turunan dari kata tersebut. Kata “qital”
sering digunakan dalam al-Qur'an dengan perubahan bentuk dari Tsulatsi mujarrad
ke tsulatsi mazid dangan tambahan satu huruf alif.“qātala-yaqōtilu-muqōtalalatan”( قاتل –
يقاتل - مقاتلة) yang berarti ‘perang.
Kata “qital”
dengan berbagai derivasiya, baik fi’il (kata kerja) maupun isim (kata benda),
ditemukan di dalam berbagai tempat di dalam al-Qur'an. Kata tersebut diungkap
sebanyak 13 kali di dalam 7 surat. Semua kata qital digunakan al-Qur'an dengan
pengertian perang atau peperangan dan digunakan di dalam berbagai kontek pembicaraan. Misalnya, qital di dalam QS.
Al-Baqoroh [2]: 116-117, digunakan untuk menyatakan kewajiban perang yang
dibebankan kepada orang-orang yang beriman. Kata ini (qital) dipahami karena
dihubungkan dengan kata “Kutiba”.
Kata qital juga
digunakan untuk menyatakan keengganan sebagian Bani Israil untuk berperang
melawan musuh-musuh mereka, padahal peperangan itu kewajiban yang telah
ditetapkan Allah dan harus dilaksanakan, sebagaimana diungkap di dalam QS.
Al-Baqoroh [2]: 246. Selain itu, kata qital juga digunakan untuk menggambarkan
kondisi dan sifat-sifat orang munafik ketika terjadi perang Uhud sebagimana
diungkap di dalam QS. An-Nisa [4]:77 dan QS. Muhammad [47]; 20.[5]
C.
Konsep
Jihad dan Qital dalam al-Qur'an
Pemahaman jihad
sering kali dipahami secara sempit oleh sebagian masyarakat. Terlebih lagi,
ketika kata jihad ini dihubungkan dengan kata ‘fisabilillah’ dipandang sebagai
perang membela agama dengan melawan musuh. Pemahaman tekstual seperti di atas,
berimplikasi pada tindakan kriminal, sebagaimana fenomena yang terjadi di
masyarakat yang dilakukan oleh sekelompok orang yang menganggap bahwa apapun
bentuk kemaksiatan harus dibasmi dan diperangi tanpa memperhatikan etika,
kondisi sosial dan pertimbangan-pertimbangan lain yang berdampak negatif pada
pencitraan Islam.
Islam yang
diproklamirkan 15 abad yang lalu oleh Rasulullah SAW. dengan missi dakwah ‘rahmatan li al-‘alamin’
merupakan model jihad yang ber-etika dan mempertimbangkan hak-hak kehidupan
manusia. Dalam perang, misalnya, Ali ibn Abi Thalib ketika akan membunuh salah
seorang musuhnya, ia diludahi. Kemudian ia mengurungkan niatnya untuk membunuh
musuh tersebut. Ketika ditanya, “Mengapa anda tidak membunuhnya, padahal anda
juga diludahinya?. Ali menjawab, “Jika aku membunuhnya, bukan karena Allah,
tapi karena aku diludahi”.
Fenomena
sejarah yang ditampilkan oleh Ali ibn Abi Thalib merupakan model peperangan
yang beretika (berakhlak karimah). Logika kita mengatakan, bagaimana mungkin
seorang musuh Islam yang jelas-jelas menentang Islam, masih dihargai oleh
seorang sahabat padahal ia dilecehkan martabatnya oleh musuhnya sendiri. Ini
tentu bentuk ketulusan dalam berjihad dengan mempertimbangkan aspek-aspek
kemanusiaan yang tetap dijunjung tinggi dalam ajaran Islam.
Banyak kasus
yang ditampilkan oleh para sahabat Nabi dalam berperang. Sebagaimana sabda Nabi
;
حَدَّثَنِي
أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ: «انْطَلِقُوا بِاسْمِ اللَّهِ وَبِاللَّهِ وَعَلَى مِلَّةِ رَسُولِ
اللَّهِ، وَلَا تَقْتُلُوا شَيْخًا فَانِيًا وَلَا طِفْلًا وَلَا صَغِيرًا وَلَا
امْرَأَةً، وَلَا تَغُلُّوا، وَضُمُّوا غَنَائِمَكُمْ، وَأَصْلِحُوا وَأَحْسِنُوا
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ» رواه
ابو داود
Diceritakan oleh Anas ibn Malik kepadaku bahwa Rasulullah SAW
bersabda, “Berangkatlah dengan Basmalah, dan atas nama Agama Rasulullah. Jangan
kalian membunuh orang-orang yang sudah lanjut usia, anak-anak, dan perempuan.
Janganlah kamu melampaui batas (ketika membunuh), kumpulkan harta ganimah kamu,
dan damaikanlah olehmu, dan berbuat baiklah kamu (kepada mereka), karena
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”[6]. HR.
Abu Daud.
Dalam suatu
kesempatan, Umar ibn Khattab menulis surat kepada Sa’ad ibn Abi Waqas sebagai
panglima perang yang berisi tentang pesan-pesan khusus dalam berperang melawan
musuh.
“... Amma ba’du. Aku menginstruksikan kamu dan pasukanmu untuk
bertakwa kepada Allah dalam kondisi apapun.
Karena takwa kepada Allah merupakan persiapan yang paling utama melawan
musuh dan strategi yang paling ampuh dalam berperang. Aku (juga) menginstruksikan kalian untuk
tetap menjaga diri dari berbagai bentuk kemaksiatan dalam menghadapi musuh.
Karena perbuatan dosa sebuah pasukan lebih aku takuti dari pada musuh-musuh
kalian. Kemenangan umat Islam, sesungguhnya disebabkan perbuatan dosa
musuh-musuh kalian terhadap Allah. Seandainaya kalian berbuat dosa, maka kalian
tidak akan punya kekuatan, karena jumlah pasukan kita, tidak sebanding dengan
jumlah pasukan mereka. ... ketahuilah, bahwa kalian harus berlindung kepada
Allah dalam bertempur, karena mereka juga mengetahui (strategi) apa yang kamu
lakukan, maka lindungilah hidup mereka, dan janganlah kamu melakukan dosa dalam
memerangi mereka, sebab kalian berperang di jalan Allah...”[7]
Penulis
melihat, bahwa jihad memiliki aturan yang harus diimplementasikan dengan baik
dan benar. Terlebih lagi ketika pemaknaan jihad memiliki ruang lingkup yang
cukup luas, sebagaimana Penulis kemukakan di atas. Ini terlihat secara implisit
dari pernyataan Umar ibn Khattab dalam suratnya yang ditulis kepada Sa’ad ibn
Abi Waqas tentang aturan main dalam berperang.
Para ulama
tafsir dalam memahami ayat-ayat perang selalu menghubungkannya dengan ayat-ayat
yang terkait dengan kemanusiaan, sosial-budaya dan bahkan ekonomi. Sebab dalam
al-Qur'an, sejumlah ayat menjelaskan bahwa pada prinsipnya perang bersifat
difensif (mempertahankan diri). Dengan kata lain, umat Islam tidak
diperkenankan mengambil inisiatif untuk berperang terlebih dahulu. Akan tetapi
apabila terjadi perang, maka pantang mundur hingga para musuh Islam dapat
dibinasakan, atau mereka menyerah dan tidak memusuhi Islam lagi.
Kita bisa
melihat firman Allah yang diungkap di dalam al-Qur'an ;
وَقَاتِلُوا
فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ
لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ (البقرة
: 190)
Dan
perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah
kamu melampaui batas, Karena Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
melampaui batas. (QS. Al-Baqoroh [2]:190).
Menurut
al-Thabari dalam tafsirnya, bahwa yang diperkenankan untuk diperangi adalah
mereka yang memerangi umat Islam. Kepada mereka yang tidak ikut dalam
peperangan seperti anak-anak, kaum wanita, orang tua jompo, para pendeta yang
kegiatannya di tempat ibadah dan orang-orang yang menyerahkan diri, diharamkan
untuk diperangi (dibunuh). Oleh karena itu, pada ayat di atas diakhiri dengan
“sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”, yang
menurut Thobari adalah mereka yang tidak ikut serta dan menyerahkan diri.[8]
Dalam kontek
ini, al-Qur'an memberikan catatan beberapa ketentuan sebagai berikut ; ‘kapan perang dibolehkan, etika peperangan
seperti perlakuan terhadap tawanan perang, pemanfaatan harta ganimah, dan kapan
suatu peperangan harus diakhiri. Tentang kapan diperbolehkan peperangan itu,
ditentukan oleh al-Qur'an sebagai berikut ; Pertama, perang diperbolehkan dalam
upaya mempertahankan diri (QS. Al-Baqoroh [2]: 190); Kedua, untuk membalas
serangan musuh, seperti diungkap di dalam (QS. Al-Haj [22]: 39; ketiga, untuk
menentang penindasan terhadap hak-hak kemanusiaan (QS. An-Nisa [4]:75); keempat, untuk mempertahankan kemerdekaan
beragama (QS. Al-Baqoroh [2]:191; kelima
untuk menghilangkan penganiayaan (QS. Al-Baqoroh [2]:193); dan keenam untuk
menegakkan kebenaran (QS. At-Taubah [9]:12)[9]
D.
Interpretasi
dalam memahami konsep Jihad dan Qital
Kontroversi dan
polemik makna Jihad terus berkelanjutan dan berimplikasi pada level
implementasi di lapangan. Bagi mereka yang menafsirkan Jihad identik dengan
al-qital, al-harb dan al-ghazwah (perlawanan fisik terhadap musuh) memberikan
fatwa “wajib jihad fisik” bagi kaum muslimin untuk memerangi kaum kafir - dalam
hal ini Zionis Israel yang didukung oleh Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya-,
bukan saja di wilayah perang tetapi juga di tempat-tempat lain. Sehingga fatwa
ini seiring dengan munculnya tindakan anarkis terhadap mereka yang dianggap
melakukan kemunkaran, bahkan merusak usaha-usaha yang berbau kemaksiatan, tanpa
memperhatikan etika dan memperhitungkan solusinya untuk bisa bekerja di tempat
yang layak (halal).
Demikian pula penindasan,
penjajahan dan kekerasan yang dilakukan orang-orang kafir terhadap kedaulatan
sebuah wilayah atau negara seperti yang terjadi di Palestina, Afganistan,
Chechnya, Bosnia dan tempat-tempat lain, berImplikasi dari fatwa tersebut yang
bersandar pada literatur “jihad kontemporer” yang kini dikenal istilah “Bom
Syahid” sebagai salah satu cara istisyhad (mencari syahid) yang mereka lakukan.
Belakangan istilah “Bom syahid” diterjemahkan masyarakat dengan istilah “Bom
Bunuh diri”. Bom bunuh diri atau yang
diklaim sebagai “Bom Syahid” tersebut bukan saja terjadi di wilayah perang
seperti di Palestina, Afganistan, Chechnya, Bosnia dan lain-lain tetapi juga
dilakukan di wilayah-wilayah aman seperti di Amerika, Eropa, Pakistan, India,
Malaysia bahkan Indonesia dan tempat-tempat lainnya. Dan bukan saja bermotif
Jihad membela agama dan tanah air, tetapi bom bunuh diri juga dilakukan dengan
motif politik dan fanatisme golongan seperti yang terjadi di Irak dan Libanon
yang dilakukan oleh kelompok Syiah dan Sunni, bahkan terakhir di Palestina
sendiri karena konflik kelompok Hamas dan al Fatah.[10]
Dimana
kekeliruan pemahaman dalam menafsirkan teks “jihad” dan “qital” ini?. Menurut
Penulis, terjadinya kekeliruan dalam memahami kedua teks tersebut, terkait
dengan beberapa hal. Di antaranya; menafsiran terhadap ayat-ayat jihad dan
perang tidak komprehensip. Salah satu contoh ayat al-Qur'an yang menyatakan
perang terdapat di dalam QS. Al-Baqoroh [2]: 191;
وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ
وَأَخْرِجُوهُمْ مِنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ ... (البقرة : 191)
Dan Bunuhlah
mereka (orang-orang kafir) di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka
dari tempat mereka yang telah mengusir kamu (Mekah)... (QS. Al-Baqoroh [2]: 191)
Ayat
ini bila dibaca tidak utuh, maka akan memunculkan kesalahan interpretasi.
Sebab, semua orang kafir yang dijumpai dimana pun harus dibunuh. Padahal tidak
demikian maksud al-Qur'an. Ayat lain yang jika dibaca tidak lengkap akan menimbulkan
kesalahan interpretasi, seperti contoh pada ayat ini.
وَقَاتِلُوا
الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً ..... (التوبة
: 36)
“....dan
perangilah kaum musyrikin itu semuanya ...” QS. At-Taubah
[9]:36)
Kedua,
kesalahan interpretasi juga disebabkan karena tidak melihat asbab nuzul sebuah
ayat. Misalnya pada ayat QS. Al-Baqoroh [2]: 191 sebagai berikut ;
وَاقْتُلُوهُمْ
حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ وَأَخْرِجُوهُمْ مِنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ وَالْفِتْنَةُ
أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ وَلَا تُقَاتِلُوهُمْ عِنْدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
حَتَّى يُقَاتِلُوكُمْ فِيهِ فَإِنْ قَاتَلُوكُمْ فَاقْتُلُوهُمْ كَذَلِكَ جَزَاءُ
الْكَافِرِينَ (البقرة : 191)
Dan Bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah
mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah[11]
itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka
di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. jika
mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikanlah balasan
bagi orang-orang kafir. (Al-Baqoroh [2]: 191)
Ayat ini,
menurut Ibn Abbas sebagaimana dikutip oleh Maragi, turun pada saat perjanjian
Hudaibiyah, yang ketika Nabi berkeinginan untuk berhaji tahun itu, namun
ditolak oleh orang-orang kafir Makkah dan baru diperbolehkan berhaji tahun
depan. Pada tahun berikutnya, Nabi dan umat Islam kemudian berangkat haji,
namun mereka tetap tidak yakin dengan keselamatan mereka dari ancaman
orang-orang kafir Makkah untuk menjamin keselamatan mereka. Mereka khawatir
akan ditolak dan diusir dari Makkah yang bisa menyebabkan peperangan di bulan
haram. Maka turunlah ayat tersebut.[12]
Kemudian pada contoh QS.
At-Taubah [9]:36
إِنَّ عِدَّةَ
الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ
خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ
الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ
كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ
الْمُتَّقِينَ (التوبة : 36)
Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan,
dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya
empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu
menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu[13],
dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu
semuanya, dan Ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.
(QS. At-Taubah [9]:36)
Satu ayat yang
terangkai secara lengkap menjelaskan tentang bulan yang diharamkan untuk
berperang. Karena itu, umat Islam dilarang untuk melakukan kezaliman terhadap
dirinya sendiri dengan berperang. Karena sanksi yang akan diteimanya adalah
berupa dosa besar. Menurut Imam Syafi’i, bukan hanya sekedar dosa, tetapi
dikenakan sanksi diyat[14]. Yaitu sejumlah harta yang wajib diberikan karena
suatu tindakan pidana kepada korban kejahatan atau walinya. Diyat disyariatkan
dalam pembunuhan dan penganiayaan[15].
Tetapi, jika orang-orang kafir itu melakukan pelanggaran pada bulan-bulan
tersebut dengan memerangi umat Islam, maka Allah mengizinkan memerangi mereka
semua.
Inilah salah
satu gambaran bagaimana memahami teks ayat itu secara lengkap tanpa mengabaikan
pendapat para ulama tafsir. Sehingga kandungan ayat tentang perintah perang
tidak bias pemahaman yang berdampak pada tindakan anarki dan kriminal yang
mengorbankan manusia yang tidak berdosa, sebagaimana fenomena Bali.
Ketiga, penyebab kekeliruan
interpretasi adalah kurangnya memahami kosa-kata Bahasa Arab. Para
ulama sepakat bahwa seorang mujtahid (mufassir) harus mengerti bahasa Arab.
Karena al-Qur'an diturunkan dalam bahasa Arab. Demikian pula dengan al-sunnah.
Al-Gazali, sebagai mana dikutip oleh Muhammad Abu Zahrah, mengatakan bahwa
ketentuan untuk memahami pembicaraan orang Arab, tradisi dalam penggunaan
bahasa sehingga ia mampu membedakan mana yang sharih (jelas), zahir, mujmal,
hakikat dan majaz, umum dan khusus, muhkamat dan mutasyabihat, muthlaq dan
muqayyad, nash dan maksudnya, dialek dan artinya, tidak mungkin berhasil
difahami kecuali oleh orang yang sangat memahami bahasa Arab.[16]
Kata “dharaba” (memukul) dengan berbagai bentuknya, misalnya memiliki arti yang berbeda.
“Idhrib bi ‘ashaka al-hajar” ( اضْرِبْ بِعَصَاكَ الْحَجَرَ ) dalam QS. Al-Baqoroh [2]:60, berarti “pukullah olehmu batu
itu dengan tongkatmu”. Namun pada ayat lain, kata “dharaba” (ضرب ) dalam QS. Yasin [36]:78, ( وضرب لنا
مثلا) diartikan dengan “Dan Ia
membuat perumpamaan bagi kami”. Di dalam QS. Al-Baqoroh [2]: 26, juga ditemukan
nada yang serupa , seperti berikut ;
إِنَّ اللَّهَ
لَا يَسْتَحْيِي أَنْ يَضْرِبَ مَثَلًا مَا بَعُوضَةً فَمَا فَوْقَهَا فَأَمَّا
الَّذِينَ آَمَنُوا فَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَأَمَّا
الَّذِينَ كَفَرُوا فَيَقُولُونَ مَاذَا أَرَادَ اللَّهُ بِهَذَا مَثَلًا يُضِلُّ
بِهِ كَثِيرًا وَيَهْدِي بِهِ كَثِيرًا وَمَا يُضِلُّ بِهِ إِلَّا الْفَاسِقِينَ (البقرة
:26)
Sesungguhnya Allah tiada segan
membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu[33]. adapun
orang-orang yang beriman, Maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari
Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan: "Apakah maksud Allah
menjadikan Ini untuk perumpamaan?." dengan perumpamaan itu banyak orang
yang disesatkan Allah[34], dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang
diberi-Nya petunjuk. dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang
yang fasi’ (QS.
Al-Baqoroh [2]: 26)
Pada ayat
tersebut Allah mengungkapkan dalam bentuk fi’il mudhari (kata kerja masa
yang akan datang), “Yadhribu” juga diartikan sebagai “membuat...”
Ada 4 komponen
untuk memahami teks ayat dalam kontek kebahasaan. Pertama memahami
kondisi bahasa dan rahasianya. Kedua mengetahui tradisi masyarakat Arab.
Ketiga mengetahui kondisi orang-orang Yahudi dan Nasrani di Jazirah Arab
waktu turunnya ayat. Dan keempat kemampuan pemahaman dan wawasan yang
luas.[17]
Keempat penyebab kekeliruan dalam
menafsirkan al-Qur'an adalah kurangnya memahami sumber tafsir, yaitu adalah
ahlul kitab; orang-orang Yahudi dan Nasrani. Hal ini terkait erat dengan
kisah-kisah para Nabi yang diungkap dalam al-Qur'an sebagaimana juga dimuat di
dalam kitab Taurat dan Injil. Kisah-kisah tersebut diletakkan dalam al-Qur'an sebagai
ibrah (contoh pembelajaran) bagi manusia.[18]
Oleh karena itu, para mufassir, seperti Ibn Katsir, banyak memuat kisah-kisah
Bani Israil sebagai bagian yang tidak dipisahkan dari penafsirannya, sehingga
mengetahui dengan jelas maksud suatu ayat. Salah satu contoh, dalam al-Qur'an
kisah tentang bani Israil tentang peristiwa ;
يَا
بَنِي إِسْرَائِيلَ اذْكُرُوا
نِعْمَتِيَ الَّتِي أَنْعَمْتُ عَلَيْكُمْ وَأَوْفُوا بِعَهْدِي أُوفِ
بِعَهْدِكُمْ وَإِيَّايَ فَارْهَبُونِ * وَآَمِنُوا بِمَا أَنْزَلْتُ مُصَدِّقًا لِمَا مَعَكُمْ وَلَا
تَكُونُوا أَوَّلَ كَافِرٍ بِهِ وَلَا تَشْتَرُوا بِآَيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا
وَإِيَّايَ فَاتَّقُونِ (البقرة
:40-41)
Hai Bani Israil
ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu, dan penuhilah
janjimu kepada-Ku niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu; dan hanya kepada-Ku-lah
kamu harus takut (tunduk). Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah Aku
turunkan (Al Quran) yang membenarkan apa yang ada padamu (Taurat), dan
janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya, dan janganlah kamu
menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Aku-lah kamu
harus bertakwa. (QS. Al-Baqoroh
[2]: 40-41)
Masih banyak ayat-ayat yang ditampilkan al-Qur'an tentang kisah
Bani Israil yang diungkap dalam beberapa surat. Seperti dalam QS. Al-Baqoroh
[2]:67-74, tentang peristiwa pembunuhan keluarga kaya yang tidak memiliki
keturunan, dan dibunuh oleh anak saudaranya. Peristiwa ini menghebohkan
masyarakat Bani Israil, karena tidak diketahui pelakunya. Kemudian Allah
menurunkan wahyu kepada Nabi Musa agar mereka mencari sapi betina yang tidak
memiliki cacat.[19]
Menurut Penulis, perlunya mengetahui kisah-kisah irailiyat, karena terkait
dengan kehidupan masyarakat ketika al-Qur'an diturunkan di Madinah yang banyak
berceita tentang kehidupan Yahudi. Hal ini dimaksudkan untuk menjembatani
pemahaman terhadap pesan-pesan al-Qur'an.
E.
Jihad
dan Qital dalam Aspek Hak-hak Asasi
Manusia
Fenomena
yang terjadi di berbagai Negara Timur Tengah, dan wilayah Asia, khususnya di
Indonesia, persoalan jihad sering diidentikan dengan perang fisik dengan
mengorbankan banyak orang tanpa melihat siapa yang berperang dan siapa yang
harus diperangi. Padahal dalam Islam, pemaknaan jihad tidak selalu identik
dengan perang, meskipun ayat tersebut dihubungkan dengan kata “fisabilillah”.[20]
Salah satu contoh hadits Nabi sebagai berikut ;
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ : قُلْت يَا رَسُولَ
اللَّهِ ، عَلَى النِّسَاءِ جِهَادٌ ؟ قَالَ : نَعَمْ جِهَادٌ لَا قِتَالَ فِيهِ ،
هُوَ الْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ ( رَوَاهُ
ابْنُ مَاجَهْ ، وَأَصْلُهُ فِي الْبُخَارِيِّ
Dari
Aisyah ra., berkata, “Aku bertanya,”Ya Rasulallah, apakah wanita wajib
berjihad?”. Beliau menjawab, “Ya, (wajib) berjihad, tapi bukan berperang, yaitu
jihad berhaji dan umrah”[21]
(HR. Ibn Majah)
Jika
memang, ada sebagian ulama yang menafsirkan ‘jihad’ dengan pemaknaan
‘al-qital’, al-gazwah, al-sariyyah, maupun ‘al-harb’, namun semuanya tidak
lepas dari aturan dengan memperhitungkan aspek sosial dan kemanusiaan.
Manusia
sebagai makhluk sosial selalu membutuhkan kehidupan yang aman, damai dan
sejahtera. Terlepas, apakah ia seorang mu’min atau bukan, apakah ia beragama
atau tidak, memiliki keinginan untuk melakukan kebaikan dan berkeinginan untuk
hidup nyaman tanpa terusik oleh berbagai
ancaman (teror). Sebab keinginan seperti ini fitrah manusia yang universal.
Dalam hal ini Nabi menyatakan ;
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
- صلى الله عليه وسلم: " مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ
فَلاَ يُؤْذِ جَارَهُ ،...." (رواه البخارى)
Dari Abi Hurairah berkata, bersabda Rasulullah SAW. “ Siapa yang
beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan menyakiti tetangganya...”[22].
(HR. Buchori).
Dalam hadits lain Rasulullah bersabda ;
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم « الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ
ارْحَمُوا مَنْ فِى الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِى السَّمَاءِ الرَّحِمُ ... ». رواه الترمذى (قَالَ أَبُو عِيسَى
هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ.)
Dari abdullah ibn Amr berkata, bersabda Rasulullah SAW, “Para
pengasih itu niscaya akan dikasihani oleh Yang Maha Pengasih (Allah).
Kasihanilah makhluk Allah yang ada di bumi, niscya kalian akan dikasihani oleh (makhluk
Allah) yang ada di langit (Malaikat)... “[23].
(HR. Turmudzi)
Kedua hadtis tersebut menjadi dasar yang kuat, bahwa hak asasi
manusia sangat dihargai dan dihormati dalam Islam. Menurut Arqoun bahwa acuan
budaya asli bagi budaya yang didasarkan pada hak asasi manusia berasal dari
al-Qur'an dan ajaran-ajaran Nabi Muhammad SAW. Sarjana-sarjana terkemuka,
juris-juris muslim, perwakilan-perwakilan, gerakan-gerakan dan aliran-aliran pemikiran
Islam, mempersiapkan teks deklarasi Hak Asasi Manusia dan semua isi dari 23
pasal deklarasi ini didasarkan pada ayat-ayat al-Qur'an atau seleksi dari
kompilasi hadits-hadits Sunni yang resmi.[24]
Terkait dengan
jihad dan qital, hak-hak asasi manusia menjadi persoalan sangat penting dalam
Islam yang wajib dilindungi. HAM (Hak Asasi Manusia) merupakan suatu konsep etika
politik modem dengan gagasan pokok penghargaan dan penghormatan terhadap
manusia dan kemanusiaan. Gagasan HAM membawa kepada sebuah tuntutan moral
tentang bagaimana seharusnya manusia memperlakukan sesama manusia.
Gerakan perlindungan dan pemajuan hak-hak asasi manusia secara
internasional dimulai dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal
Declaration of Human Rights) oleh Sidang Urnum Perserikatan Bangsa-Bangsa
pada 10 Januari 1948, dengan tujuan
untuk meningkatkan
martabat dan kesejahteraan umat manusia.[25] Namun
jauh sebelum deklarasi tersebut, Islam sudah mendeklarasikan HAM ini kepada
dunia.
Oleh karena
itu, jihad dan qital dalam Islam tidak ditempatkan pada level pencitraan
negatif dengan cara membabi-buta tanpa
aturan hukum yang berlaku. Istisyhad (bom bunuh diri dengan mencari
kematian sebagai syahid) yang dikenal dengan bom bunuh diri dalam istilah
kontemporer, bukanlah ajang jihad yang selaras dengan ajaran Islam. Karena
tidak ada dalam ajaran Islam untuk melakukan bunuh diri demi kepentingan
apapun. Apalagi mengatasnamakan agama.
Tentang hukum
qishsash saja sebagaimana diungkap di dalam al-Qur'an Surat al-Baqoroh [2]:178,
para ulama mengatakan bahwa haram hukumnya membunuh orang yang bukan
sepantasnya mendapatkan hukuman. Misalnya orang yang tidak melakukan
pembunuhan, tidak boleh mendapatkan hukuman hanya karena ada anggota
keluarganya sebagai pembunuh.[26] Oleh
karena itu, penurut Penulis, istisyhad adalah langkah keliru dalam berjihad.
Selain dosa bunuh diri, juga dosa mengorbankan kematian orang-orang yang tidak
pantas mendapat hukuman.
Sayid Sabiq
dalam bukunya Fiqh Sunnah menerangkan;
“Ada beberapa hal yang mengharuskan peperangan itu terhenti; (1)
Para musuh atau sebagian dari mereka yang berperang itu telah menyatakan Islam,
maka apa yang menjadi milik umat Islam juga milik mereka, baik haknya maupun
kewajibannya; (2) mereka meminta perdamaian dengan menghentikan berperang, maka
umat Islam wajib memenuhi keinginan mereka sebagaimana yang dilakukan oleh
Rasulullah pada waktu perdamaian Hudaibiyah; (3) keinginan mereka untuk tetap
memilih agamanya dengan jaminan membayar jizyah (upeti) sebagaimana umat Islam
membayaz zakat, sebagai jaminan keamanan dalam beragama dan bermasyarakat; (4)
mereka menyatakan kalah dalam peperangan dan menyerahkan harta ghanimah kepada
umat Islam; (5) ada sebagian para musuh yang berperang meminta hidup aman dan
damai, maka tuntutannya harus dipenuhi. Demikian pula, jika mereka ingin hidup
di wilayah kekuasaan Islam”.[27]
Melihat
pernyataan Sayid Sabiq, Penulis melihat bahwa jihad dan qital yang terjadi di
Indonesia dengan mengatas namakan agama merupakan kesalahan interpretasi
terhadap pesan jihad dan qital tersebut. Sebab menurut Penulis, jihad dan qital
mempunya medan waktu tersendiri, dan dilakukan harus secara beretika. Sebagaimana
tertuang dalam pidato-pidato para sahabat ; Abu Bakar maupun Umar ibn Khattab
sebagaimana Penulis sampaikan di atas. Artinya bahwa istisyhad yang selama ini
dianggap sebagai ibadah dengan mengatasnamakan agama oleh sekelompok orang,
bukanlah ajaran Islam.
Konsep jihad
dan qital merupakan suatu upaya untuk membela agama dan mempertahankan
penindasan dari kaum yang lebih kuat. Ketika kebebasan beragama bagi umat Islam
terganggu, dan eksistensi kemanusiaan tertindas. Al-Naisaburi memberi ulasan dalam
menafsirkan QS. Al-Baqoroh [2]:190, tentang asbab nuzul ayat ini di Madinah, bahwa
Rasulullah hanya memerangi orang-orang kafir yang melibatkan diri dalam peperangan itu, beliau
juga menahan diri untuk tidak memerangi orang yang tidak ikut dalam berperang
dan juga tidak membunuh kaum wanita, orang tua jompo, para rahib dan kaum
wanita, meskipun mereka ikut membantu musuh dalam melawan umat Islam.[28]
مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ
كَتَبْنَا عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ
أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ
أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا وَلَقَدْ جَاءَتْهُمْ
رُسُلُنَا بِالْبَيِّنَاتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ بَعْدَ ذَلِكَ فِي
الْأَرْضِ لَمُسْرِفُونَ (32)
Oleh Karena itu kami tetapkan (suatu
hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia,
bukan karena orang itu (membunuh) orang lain
atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia
telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan
seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia
semuanya. dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul kami dengan
(membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka
sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka
bumi. (QS. Al-Maidah
[5]:32)
Menurut
Al-Razi, membunuh seorang manusia tanpa sebab yang mengharuskan qishash atasnya,
sebagaimana diungkap pada ayat di atas, adalah sama dengan membunuh banyak
orang. Karena persoalan manusia merupakan persoalan yang cukup besar
eksistensinya di dunia. Alasan yang dikemukakannya adalah karena manusia pada
prinsipnya berasal dari satu jiwa, keturunan Adam yang berkembang biak dengan
keaneka ragaman agama, budaya dan sebagainya.[29]
Kebebasan hak
hidup manusia dilindungi dalam Islam sebagai sikap toleransi atas nilai-nilai
kemanusiaan, sepanjang bukan dalam kontek kezaliman dan kemaksiatan. Toleransi
yang diberikan dalam Islam adalah nilai-nilai kehidupan yang memiliki
kemaslahatan bagi manusia. Salah satu contoh; bagaimana Rasulullah menghormati
janazah Yahudi yang ketika itu melintasi Rasulullah dan para sahabatnya yang
sedang duduk, tiba-tiba beliau berdiri.
Hal ini menimbulkan keheranan di antara sahabat-sahabatnya. “Ya Rasul,
itu jenazah orang Yahudi?” Rasulullah SAW menjawab, “Bukankah dia juga
manusia?” Dari hadist tersebut walaupun hanya mengambil intisarinya saja, kita
dapat mengatakan Rasulullah SAW sangat menghargai kemanusiaan walaupun dengan
orang yang berbeda agama dengannya.[30]
Al-Qur’an
menyatakan bahwa manusia adalah “khalifah”-Nya yang bertindak sebagai wakil
untuk mengurus bumi. Manusia telah dimuliakan oleh Tuhan karena karena Tuhan
menghendakinya seperti itu. Manusia dalam Islam dituntun oleh akhlak dengan
akhlak Allah swt dan dengan meneladani akhlak Rasul. Humanisme yang berdasarkan
Tauhid ini sangat kental dalam Islam. Islam membebaskan manusia dari perbudakan
manusia oleh manusia dan oleh tuhan-tuhan palsu. Islam adalah agama yang
mengandung etika dan moralitas.
Sayid Sabiq,
dalam kontek interaksi sosial menyampaikan bahwa Islam menjunjung tinggi
nilai-nilai kehidupan. Karena itu, Islam hadir untuk membebaskan manusia dari
berbagai teror yang membuat hidup manusia terganggu untuk melakukan berbagai
aktifitas kehidupan. Jaminan kebebasan beragama, yang diberikan Islam kepada
non muslim; pertama, tidak boleh memaksa agar mereka meninggalkan agamanya dan
mengganti akidahnya; kedua, memberikan hak untuk penyebaran syiar agama mereka, dan dilarang menghancurkan gereja dan salib;
ketiga, Islam memperbolehkan apa yang dikonsumsi oleh mereka, juga boleh
dikonsumsi oleh umat Islam, kecuali yang diharamkan oleh Islam; keempat,
kebebasan untuk menentukan perkawinan, perceraian dan talak; kelima, menjaga
kehormatan mereka dan menjaga hak-haknya.[31]
F.
Penutup
Islam sebagai
agama yang membawa misi Rahmatan li al-Alamin, merupakan agama yang
menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, bukan sebagai agama yang menakutkan. Bahasa
jihad dan qital yang termaktub dalam al-Qur'an tidak ditafsirkan secara
tekstual tanpa menghubungkan dengan ayat-ayat lain; maupun hadits-hadits Nabi
yang berbicara tentang kemanusiaan.
Konsep jihad
dan qital dalam Islam sarat dengan muatan akhlak yang menjunjung tinggi hak
hidup setiap manusia, betapapun dengan segala perbedaan yang dimilikinya maupun
yang diyakininya.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, Muhammad, Ushul Fiqh, (Dar al-Fikri al-Arabi,
1958)
al-Buchari, Muhammad Ismail, Shahih Buchari, (Mauqi wizarah
al-Misriyah, tt.)
Al-Dzahabi, Husain, Al-Tafsir Wa Al-Mufassirun, Kairo: Maktabah
Wahbah, 1988
al-Maragi, Ahmad Musthafa, Tafsir Maragi, Bairut : Dar Ihya
al-Turats al-Arabi, tt.
al-Naisaburi,
Nizham al-Din, Gharaib al-Qur'an wa Ragha’ib al-Qur'an, Mesir ; Syirkah
Maktabah wa Mathba’ah al-Babi al-Halabi wa Auladihi, tt.
al-Razi, Abu Abdullah, Mafatih al-Ghaib, Bairut : Dar Ihya
al-Turats al-Arabi, tt.
al-Razi, Fakhruddin, Mafatih al-Ghaib, Maktabah Syamilah.
al-Sajastani, Abu Daud Sulaiman ibn Asy’ast ibn Ishaq, Sunan Abu
Daud, Bairut: Maktabah al-Ashriyah Shaida, tt.
al-Thabari, Abu Ja’far, Jami al-Bayan fi Ta’wil al-qur’an,
Muassasah al-Risalah, 2000
al-Turmudzi, Muhammad ibn Isa ibn Sauarah ibn Musa ibn al-Dhuhak, Sunan
Turmudzi, Mauqi Wizarah al-Kutub al-Islamiyah, tt.
Arkoun, Muhammad (terj), Rethingking
Islam, Lembaga Penterjemah dan Penulis Muslim
Indonesia; Yogyakarta, 1996
Dananjaya, Hanvitra, Islam Agama kemanusiaan, diakses dari http://sosbud.
kompasiana.com/ 2012/07/13/islam-agama- kemanusiaan-477550.html, pada hari
Jumat, 20 September 2013
Ibn Katsir, Tafsir
al-Quran al-Azhim, Dar Thayibah li
al-Nasyri wa al-Tauzi, 1999
Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Dar Ihya al-Kutub Al-Arabiyah,
tt.
Islamwiki, Diyat, di akses dari http:// islamwiki. blogspot.com/2009/04/diyat. html,
pada hari Senin, 16 September 2013
Kekeliruan dalam memahami jihad, diakses dari http://ramah.
fh.unsri.ac.id /index. php/ posting/34, pada hari
Senin, 16 September 2013.
Mulia, Muzdah, Makalah ; Hak Asasi Manusia, disampaikan pada
Kuliah Program Studi S3, Konsentrasi
Ilmu Tafsir, PTIQ Jakarta,
tanggal 13 Mei 2013
Mustafa, Ibrahim (...et.al...), Mu’jam al-Wasith, (Majma’
al-Lughat, tt.
Sabiq, Sayid, Fiqh Sunnah,
Bairut : Dar al-Kitab al-Arabi, 1977.
Sahabuddin,... (et.al), Ensiklopedia
al-Qur'an; Kajian Kosakata, (Jakarta: Lentera Hati, 2007
Wikipidea, diakses dari, http://id.wikipedia.org/wiki/Bom_Bali
[2] Ibid.
[3]
Sahabuddin,... (et.al), Ensiklopedia
al-Qur'an; Kajian Kosakata, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), Jil. I, hal. 395-396
[4] Ibid.
[5]
Sahabuddin,... (et.al), ... hal. 779
[6] Abu Daud
Sulaiman ibn Asy’ast ibn Ishaq al-Sajastani, Sunan Abu Daud, Bairut:
Maktabah al-Ashriyah Shaida, tth), nomor hadits 2614, Bab ‘Du’a
al-Musyrikin, Jil. 3, hal. 37
[7] Sayid
Sabiq, Fiqh Sunnah, Bairut : Dar
al-Kitab al-Arabi, 1977, Cet. Ke 2, Jil. 2, hal. 642
[8] Abu
Ja’far al-Thabari, Jami al-Bayan fi Ta’wil al-qur’an, Muassasah
al-Risalah, 2000, jil. 3, hal. 563
[9]
Sahabuddin,.. (et.al), ... hal. 779
[10]
Kekeliruan dalam memahami jihad, diakses dari http://ramah.
fh.unsri.ac.id /index. php/ posting/34, pada hari Senin, 16 September 2013.
[11]Fitnah
(menimbulkan kekacauan), seperti mengusir sahabat dari kampung halamannya,
merampas harta mereka dan menyakiti atau mengganggu kebebasan mereka beragama.
Menurut Ibn Abbas, sebagaimana dikutip
oleh Al-Razi dalam tafsirnya, bahwa yang dimaksud fitnah adalah kekufuran
kepada Allah. Kekufuran disebut fitnah karena menimbulkan kekufuran sering
menimbulkan kezaliman dan kerusakan di bumi. Oleh karena itu, kekufuran
dianggap suatu perbuatan yang lebih besar dari fitnah yang menyebabkan
kekekalan tersiksa di dalam neraka akibat dosa kufurnya. (Lihat, Fakhruddin
al-Razi, Mafatih al-Ghaib, Maktabah Syamilah, Juz 3, hal. 144.
[12] Ahmad
Musthafa al-Maragi, Tafsir Maragi, Bairut : Dar Ihya al-Turats al-Arabi,
1946, juz 2, hal. 88
[13]
Bulan-bulan yang diharamkan adalah bulan Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram dan
Rajab (lihat, Ibn Katsir, Tafsir al-Quran
al-Azhim, Dar Thayibah li al-Nasyri wa al-Tauzi, 1999, Cet. II, Juz 4,
hal. 146
[14] Lihat,
Ibn Katsir, Tafsir al-Quran al-Azhim,
hal. 148
[15]Islamwiki,
Diyat, di akses dari http://islamwiki.blogspot.com/2009/04/diyat.html, pada
hari Senin, 16 September 2013
[16] Muhammad
Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Dar al-Fikri al-Arabi, 1958), hal. 380
[17] Husain
Al-Dzahabi, Al-Tafsir Wa Al-Mufassirun, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1988), Jil.
I, hal. 45
[18] Husain
Al-Dzahabi, hal. 48
[19] Ibn
Katsir, Tafsir al-Quran al-Azhim,
Juz 1, hal. 294
[20] Lihat,
Ibrahim Mustafa (...et.al...), Mu’jam al-Wasith, (Majma’ al-Lughat, tt.), Jil.
1, hal. 862
[21] Ibn
Majah, Sunan Ibn Majah, (Dar Ihya al-Kutub Al-Arabiyah, tt.), Nomor
hadits 2901, “Bab Jihad ala
al-Nisa”, juz 2, hal. 968.
[22] Muhammad
Ismail al-Buchari, Shahih Buchari, (Mauqi wizarah al-Misriyah, tt.),
nomor hadits 6018, Bab “Man Kana yu’minu billahi wa al-yaumi al-akhir”, Juz 20,
hal. 133
[23] Muhammad
ibn Isa ibn Sauarah ibn Musa ibn al-Dhuhak al-Turmudzi, Sunan Turmudzi,
(Mauqi Wizarah al-Kutub al-Islamiyah, tt,),
Nomor hadits, 2049, Bab “Ma Ja’a fi rahmati al-muslimin”, Juz 7, hal. 383
[24] Muhammad
Arkoun, (terj), Rethingking Islam, Lembaga
Penterjemah dan Penulis Muslim Indonesia; Yogyakarta, 1996, hal. 181-182
[25] Muzdah
Mulia, Makalah ; Hak Asasi Manusia, disampaikan pada Kuliah Program
Studi S3, Konsentrasi Ilmu Tafsir, PTIQ Jakarta, tanggal 13 Mei 2013
[26]
Ath-Thabari, Juz 3, hal. 357
[27] Sayid
Sabiq, Juz 2, hal. 658
[28] Nizham
al-Din al-Naisaburi, Gharaib al-Qur'an wa Ragha’ib al-Qur'an, Mesir ;
Syirkah Maktabah wa Mathba’ah al-Babi al-Halabi wa Auladihi, tt. ), Juz 2, hal
141
[29] Lihat,
Abu Abdullah al-Razi, Mafatih al-Ghaib, Bairut : Dar Ihya al-Turats
al-Arabi, tt., Juz 11, hal. 344
[30]
Hanvitra Dananjaya, Islam Agama kemanusiaan, diakses dari http://sosbud. kompasiana.com/ 2012/07/13/islam-agama-
kemanusiaan-477550.html, pada hari Jumat, 20 September 2013
[31]
Sayid Sabiq, Juz 2, hal. 604