Ada sebuah pepatah Arab, “… Fayā laita al-syabāb ya`ūdu yauman…” (Oh,
semoga suatu hari aku kembali muda).[1]
Dalam bahasa Arab, menurut para ahli Nahwu, kata “laita” adalah bentuk
huruf yang bermakna pengharapan yang umumnya mustahil dapat terjadi[2].
Tak sadar. Banyak orang tak sadar bahwa Allah
telah mengatur kehidupan, termasuk mengatur usia dan kondisi tubuh manusia.
Ketika usia telah lanjut, sangat mustahil usia kembali muda, dan tubuh berkeriput
dan layu, rambut pun beruban. Semua tak dapat dipertahankan. Betapapun
seseorang merubah kulitnya dengan kulit plastik dan rambutnya dengan semir,
tanda-tanda menua (sudah tua) tetap saja tak bisa dibohongi.
Ketika usia sudah lanjut, mata, pendengaran dan
berbagai organ tubuh kita, tak bisa menipu orang lain. Semuanya akan nampak
jelas tanda-tanda ke-tua-an. Ini
salah satu kebesaran Allah yang diperlihatkan kepada manusia untuk diinsafi
bahwa manusia tak bisa melawan takdir yang sudah menjadi keputusan-Nya. Dengan
demikian berharap kembali pada kehidupan masa lalu (masa muda) adalah
suatu angan-angan yang sia-sia.
Manusia yang pandai adalah manusia yang selalu bercermin
pada kehidupan masa lalunya, dan memperisapkan diri untuk kehidupan masa yang
akan datang dan pasti. Dunia dengan
segala kemegahannya merupakan kemegahan yang semu. Tak ada satupun yang kekal
di dalamnya. Kebendaan yang dimiliki oleh manusia hanyalah sementara yang
kemudian akan hilang darinya. Kehidupan dunia yang diawali dengan kelahiran dan
diakhiri dengan kematian pada prinsipnya perjalanan sejarah kehidupan setiap
orang yang menentukan nasibnya di akhirat kelak.
Di saat manusia
terjebak dengan kemewahan dunia, maka ia akan lalai terhadap akhirat.
Kewajiban-kewajiban yang harus ia lakukan, semuanya dikesampingkan. Dalam
benaknya yang terbayang hanyalah
kemewahan. Kemewahan dianggapnya dapat
mengabadikannya. Firman Allah, “…Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat
lagi pencela, Yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung, dia mengira bahwa
hartanya itu dapat mengkekalkannya…” (QS. Al-Humazah [104]:1-3).
Melihat teks al-Qur'an di atas, orang yang
mengumpat dan mencela disifati sebagai orang yang suka mengumpulkan dan
menghitung-hitung harta. Orang yang mengumpulkan harta biasanya membanggakan
kepandaiannya seraya mencela dan membicarakan kelemahan orang lain dengan
harapan harta itu bisa berpindah tangan kepada dirinya. Ini merupakan
illustrasi yang disampaikan Tuhan tentang keserakahan mereka yang memiliki
karakter pengumpat dan pencela orang lain.
Ketika manusia menganggap bahwa harta dapat
mengabadikannya, maka yang muncul dalam benaknya adalah “bagaimana memperbanyak
harta”. Padahal dalam pandangan al-Qur'an, harta bukanlah tujuan, tapi sarana
untuk tujuan itu, yaitu pengabdian kepada Allah. Dalam bahasa Islam, disebut mazra`at
al-akhirat [3]
Islam tidak pernah
melarang manusia untuk menjadi orang kaya dan berkecukupan. Sebab harta,
menurut Imam Gazali dapat menjadi sarana untuk menyempurnakan ibadah seseorang.
Sebagaimana ia katakan, “… walā yatimmu al-dīn illā bi al-dunya…” (Agama ini tidak akan sempurna kecuali dengan dunia)[4]
Di usia senja,
manusia tidak lagi dapat menikmati dunia ini sebagaimana ketika ia masih muda.
Hampir semua kondisi tubuhnya menjadi beban untuk dirinya sendiri. Bahkan
prilakunya bagaikan kekanak-kanakan; ingin dimanja, makan disuapi dan mesti
yang lembut serta rentan sakit karena salah makan, melangkah pun harus
dituntun. Al-Qur'an mengomentari hal seperti ini, “… waman nu`ammirhu
nunakkishu fi al-khalqi, afalā ya`qilūn…” (Dan
barangsiapa yang Kami panjangkan umurnya niscaya Kami kembalikan dia kepada
kejadian(nya). Maka apakah mereka tidak memikirkan? ) (QS. Yasin [36]: 68).
Menyadari hal itu, manusia diingatkan untuk
lebih istiqomah dan sabar dalam menjalani kehidupan masa tuanya dengan
beribadah kepada Allah. Walau kematian tidak mengenal usia, tetapi usia tua
lebih dekat kepada kematian. Oleh karena itu, di usia tua semestinya manusia
tidak perlu lagi serakah dan terpikat oleh duniawi, kecuali hanya sebatas untuk
memperkuat fisiknya agar bisa menyempurnakan ibadahnya kepada Allah.
Hasrat kembali muda, mestinya bukan pada fisik,
tetapi harus pada semangat ibadah. Dengan semangat muda dalam beribadah akan
memperkokoh keimanan dan ketakwaan bahkan menambah pahala. Pahala adalah nilai
yang dapat mengantarkan manusia untuk berjumpa dengan Allah. Kerida’an-Nya
merupakan tujuan akhir dari perjalanan hidup manusia yang penuh kenikmatan
abadi.
[1]Al-Mudzakkirah
al-Nahwiyah, Jil. 1, h. 265, (Maktabah Syamilah)
[2]Basa’ir Dzawi
al-Tamyiz fi Lata’if al-Kitab al-`Aziz, Jil ke-1, hal 1391 (Maktabah Syamilah)