Oleh : Hasan Luthfy Attamimy
Pada masa Rasulullah, Madinah dipimpin oleh beliau sebagai Rasul Allah dengan otoritas yang berlandaskan kenabian, sekaligus pemimpin masyarakat dan kepala negara. Setelah beliau wafat, para sahabatnya-lah yang kemudian menjabat sebagai kepala negara menggantikan kedudukan Rasulullah dalam mengelola masyarakat Madinah. Pemilihan kepala negara dilakukan dengan system demokrasi dalam majlis musyawarah terbuka. Baik ketika pemilihan Abu Bakar, Umar ibn Khattab, Utsman ibn Affan atau ketika pemilihan Ali ibn Abi Tolib
Selain sebagai kepala negara, para sahabat tersebut pada hakikatnya bergelar ulama. Keulamaan mereka bukan hanya sekedar menampilkan kemampuan ilmunya, tetapi karakteristik keulamanya telah diperlihatkan oleh mereka dalam prilaku setiap hari. Keistiqomahannya dalam hidup zuhud, jujur, adil dan bijaksana serta berakhlak mulia adalah kunci untuk mensukseskan laju pembangunan dalam segala sector kehidupan bangsa dan negara. Baik dalam berpolitik, pengamalan hukum, atau memenage perekonomian dan sebagainya, menggunakan prinsip-prinsip al-Qur’an
Tugas Ulama
Ulama, dalam pandangan al-Qur’an adalah orang yang hanya takut kepada Allah. Mereka memiliki pengetahuan yang dapat menerjemahkan bukti-bukti kebesaran Allah. Sehingga tingkat kesadarannya sangat tinggi untuk menegakkan kebenaran dan beramar ma’ruf, nahi dan munkar. Oleh karena itu mereka menempati posisi terhormat, baik dalam pandangan manusia atau pandangan Tuhan. Dalam pandangan Islam, ulama diakuinya sebagai pewaris para nabi.
Seseorang yang disebut ulama, bukan hanya sekedar ketinggian ilmunya, baik dalam aspek hukum-hukum Agama atau ilmu-ilmu umum (pembagian ilmu dalam pengertian sempit, pen). Tetapai ia juga memiliki akhlak karimah (mulia). karena ia selalu menjaga martabat keulamaannya dari berbagai sifat yang tidak terpuji, dan tidak mengundang orang lain mencercanya.
Sebagai ahli waris nabi, ulama membawa tugas suci yang disebut Wadh’un Ilahiyun yaitu hukum-hukum Allah untuk menggiring manusia yang berakal menuju kemuliaan insaniyah. Ada empat tugas utama yang harus dijalankan ulama sesuai dengan tugas kenabian. Pertama, menyampaikan (tabligh) ajaran-ajaran Allah baik yang tersurat atau yang tersirat dalam al-Qur’an. Kedua, menjelaskan ajaran-ajaran-Nya itu kepada masyarakat. Ketiga, memutuskan perkara atau problem yang dihadapi masyarakat. Dan keempat, memberi contoh pengamalan tentang ajaran-ajaran Allah kepada masyarakat. Baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial maupun budaya berdasarkan prinsip-prinsip dasar dan nilai-nilai yang digariskannya dalam al-Qur’an dan disabdakan oleh Rasulullah.
Menuai Singgasana
Bukan hal yang baru jika kita menyaksikan peranan para ulama dalam mengukir sejarah perpolitikan dari masa ke masa di belahan dunia. Sejak masa Rasulullah, generasi sahabat, tabi’in dan sampai sekarang, para ulama tidak saja mengkhususkan diri dalam bidang pendidikan dan da’wah. Tetapi mereka juga telah berperan aktif dalam dunia politik sebagai upaya penyelamatan bangsa dan negara. Atau sekaligus berpolitik dalam da’wah dan da’wah dalam berpolitik. Seperti Rifa’ah Badawi Rafi’ al-Tahtawi (1801M), Jamaluddin al-Afghani 1897M), Muhammad Abduh (1849M), Rasyid Rida (1882M) dan lain-lain.
Di Indonesia, dari masa ke masa, ulama selalu ikut ambil bagian dalam urusan politik. Sebab politik bagian dari kebutuhan masyarakat suatu bangsa. Ulama juga merasa bertanggungjawab untuk menentukan proses pencapaian negara yang adil dan bangsa yang damai dan sejahtera. Sebab menurut Imam Gazali (1111M), mempelajari ilmu politik hukumnya fardu kifayah. Dan ilmu ini bagian dari pada ajaran Islam.
Terlebih lagi, Islam telah memerintahkan agar urusan suatu bangsa dan negara harus dipikulkan kepada orang-orang yang beriman kepada Allah yang Ahad, berilmu, berperilaku soleh, juga memiliki kecakapan dalam memimpin. Sebaliknya, Al-Qur’an melarang umat Islam untuk menyerahkan tugas kepemimpinan itu kepada orang – orang yang tidak memiliki kriteria di atas.
Seyogyanya kita sebagai muslim anak bangsa ini, perlu bersyukur kepada para ulama yang masih respon melihat realita kondisi bangsa yang semakin rapuh dan terpuruk. Krisis kepercayaan masyarakat kepada para pemimpin kita dewasa ini, terpuruknya perekonomian, pengangguran yang semakin meningkat, kesempatan kerja yang semakin sulit, budaya korupsi semakin meluas dan sebagainya, memicu ulama untuk menggapai singgasana kursi kepresidenan atau jabatan lainnya. Baik langsung atau tidak langsung. Lagi-lagi, ini bukanlah hal yang baru bagi kita.
Meskipun, ada sebagian masyarakat muslim yang mengharapkan ulama kembali ke khitahnya (komunitasnya, Pondok Pesantren, pen), tidak terlibat dalam politik praktis, atau memangku suatu jabatan tertentu dalam pemerintahan, tetapi di sisi lain, umat Islam akan kehilangan kebebasannya, jika kepemimpinan itu diserahkan kepada orang-orang yang antipati terhadap Islam. Pengalaman sejarah di era 80 an telah terbukti bahwa umat islam dipersempit ruang geraknya. Sehingga ada beberapa da’i harus lapor untuk berda’wah, bahkan tidak sedikit para da’i diintograsi setelah berda’wah. Demikian pula kegiatan Pelajar Islam Indonesia (PII) untuk mengadakan Basic Training harus kucing-kucingan dengan Kelurahan setempat (penulis aktifis pengurus PII Tangerang, Ketua Da’wah, periode 1978 – 1981, pen). Juga Pendidikan Moral Pancasila yang disuguhkan kepada para siswa telah mendangkalkan akidah pelajar muslim. Dan masih banyak pengalaman pahit yang diderita umat Islam.
Ulama yang kita harapkan, setelah ia meraih singgasana, baik sebagai Presiden, Wakil Presiden, Menteri atau Anggota Dewan tentunya tidak kehilangan zati dirinya sebagai ulama. Tidak lantas meninggalkan tugas sucinya sebagai pewaris nabi. Tetapi, justeru di saat itu, seyogyanya ia memanfaatkan kesempatan untuk berda’wah kepada bawahannya atau kepada rekan-rekannya dan kepada umat. Da’wah melalui jabatan dan kekuasaan, baik bil al-fi’li atau bi al-hal, yang dibarengi nilai-nilai akhlak mulia adalah salah satu terapi mujarab untuk mengobati negara yang saat ini sedang sakit parah yang berkepanjangan. Sebab tidak hanya konsep, tetapi perwujudan prilaku yang baik, benar, jujur dan penuh tanggungjawab sangat menentukan untuk mengatasi persoalan yang sangat komplek ini.
Kita perlu percayakan urusan bangsa ini kepada ulama yang punya kapasitas berpolitik, ilmu ekonomi, dan punya keberanian beramar-ma’ruf dan memerangi nahi-munkar. Tetapi juga kita perlu mengingatkannya agar tetap istiqomah dengan karakteristik keulamaannya. Sebab ia juga manusia biasa, dan tidak perlu dikultuskan jika sukses mengatarkan kehormatan problem bangsa. Tidak perlu juga dicerca, jika ia gagal dalam memimpin. Sebaliknya ulama yang tidak punya kapasitas keilmuan di atas, kita percayakan untuk membantu membangun bangsa ini lewat pendidikan dan da’wah.
Perlu pula mengingatkan bahwa singgasana identik dengan kemewahan duniawi. Berbagai pasilitas yang diberikan kepadanya selama masa jabatannya tidak membuatnya luntur dan lupa pada tanggungjawabnya terhadap rakyat. Kalaulah ini terjadi, kepercayaan umat padanya akan sirna. Pada akhirnya ulama hanya sebagai symbol formal keagamaan belaka yang tidak berarti.
Penutup
Ketika ulama sudah kehilangan jati dirinya sebagai pewaris nabi, secara otomatis untuk bersanding duduk di majlis, mendengar petuahnya, serta menuai ilmu darinya, tidak menjadi kebanggaan lagi. Namun demikian, perlu disadari bahwa bagaimana pun profil ulama yang diidealkan, ia tetap manusia biasa dan tidak mungkin sempurna mewarisi kenabian dalam memerankan dirinya dalam seluruh aspek kehidupan. Wallahu ‘alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar