oleh : Hasan Luthfy Attamimy
Manusia adalah makhluk social yang tidak dapat hidup tanpa kehadiran orang lain. Karenanya, kehadiran orang lain merupakan keniscayaan untuk membangun kebahagiaan hidup, baik lahiriyah atau batiniyah, duniawiyah atau ukhrowiyah. Keterikatan antara individu dengan individu lain, atau komunitas dengan komunitas lainnya juga merupakan sunnatullah yang telah berlangsung lama sejak manusia itu hadir di bumi ini. Oleh karena itu, tak boleh ada klaim-klaim keunggulan, keutamaan, atau superioritas atas orang lain. Hal ini akan melahirkan hancurnya tatanan kehidupan manusia itu sendiri.
Demikian pula dalam kontek kehidupan berkeluarga yang setiap anggotanya telah diberikan keistimewaan masing-masing oleh Allah, sekaligus dengan kekurangannya. Tak boleh ada klaim, seorang suami lebih unggul atas isterinya, demikian pula sebaliknya. Keunggulan dan keistimewaan seorang suami atas isterinya adalah karunia yang diberikan Allah untuk melengkapi kelemahan sang isteri. Demikian pula kelebihan dan keistimewaan isteri atas suaminya, juga karunia yang harus diberikan kepada suaminya yang tak luput dari serba kekurangannya.
Keluarga dalam pandangan Islam merupakan salah satu sector terpenting dalam membangun masyarakat. Ia adalah nafas kehidupan bagi masyarakat. Jika sebuah keluarga itu baik, maka masyarakat pun akan menjadi baik, dan sebaliknya. Bagaimana menciptakan keluarga yang baik?. Makalah ini mencoba menginformasikan persoalan di atas dalam perspektif Islam.
Perkawinan
Fenomena yang muncul di masyarakat kita dewasa ini, khususnya dilakangan selebritis, perkawinan (pernikahan) sering kali tidak kekal, runtuh di pertengahan berkeluarga. Hal ini dilatar belakangi oleh banyak factor. Antara lain, tidak adanya saling pengertian dan pengawasan antara kedua belah pihak. Pengertian yang dimaksud adalah memahami segala kekurangan yang ada di pihak masing-masing. Sementara pengawasan yang dimaksud adalah memberi saran atas kekurangan yang ada, dan mengingatkan atas kekhilafan dan kesalahan masing-masing. Ketika hal ini tidak dimiliki oleh keluarga, maka yang terjadi konflik internal dalam keluarga yang mengantarkan pada perceraian.
Dalam Islam, perkawinan bukan hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan biologis dan mengembang-biakan keturunan. Tetapi lebih dari itu, perkawinan merupakan sunnatullah yang bernilai ibadah. Dengan demikian, pasangan yang hendak melangsungkan pernikahan, sejak awal harus meluruskan niat tersebut semata-mata ibadah karena Allah. Jika sebuah pernikahan tidak dilandasi niat ibadah yang merupakan ekspresi iman, maka cukup rentan pada kehancuran berkeluarga. Dalam hal ini, Nabi menganjurkan bahwa 3 kriteria yang harus diperhatikan ;
أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ أَبِي سُلَيْمَانَ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ جَابِرٍ ” أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْمَرْأَةَ تُنْكَحُ عَلَى دِينِهَا وَمَالِهَا وَجَمَالِهَا فَعَلَيْكَ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ “حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
Diceritakan oleh Abdul Malik ibn Abi Sulaiman dari ‘Atha’ dari Jabir bahwa Nabi SAW bersabda “Sesungguhnya wanita itu dinikahi atas (dasar) agamanya, hartanya, dan kecantikannya. (Tapi) hendaklah kamu (memilih) atas dasar agamanya yang dapat membahagiakanmu (HR. Turmudzi)
Mengapa kriteria itu perlu diperhatikan?. Pertama persoalan Agama adalah dasar dalam rumah tangga. Pengetahuan Agama, akan membangun kesadaran pada diri seseorang tentang hak dan kewajiban masing-masing pasangan. Terbentuknya sebuah kesalehan setiap anggota keluarga, didasari oleh pendidikan Agama. Seorang Isteri akan menghormati suaminya dengan penuh tanggungjawab secara moral, dan menjaga kehormatan diri dan keluarganya, bila ia mengetahui pendidikan Agama. Namun demikian, isteri yang berpengetahuan Agamanya cukup, tidak menjamin ia menjadi wanita yang solihah, dan menghormati suaminya. Tapi paling tidak, ilmu pengetahuan agama yang ia miliki dapat mengantarkannya pada kesalehan. Kedua, harta yang menjadi perhatian Nabi, walau harta tidak mutlak dapat membangun keluarga yang utuh. Tetapi harta memiliki peranan penting untuk keluarga. Baik nafkah, pendidikan, pakaian atau kebutuhan rumah tangga lainnya. Jika seorang isteri mempunyai harta, ia bisa memberikan bantuan kepada suaminya untuk menutupi kebutuhan keluarganya. Sebagaimana dilakukan oleh Khadijah dalam membantu tugas-tugas suaminya untuk dakwah islamiyah. Ketiga, kecantikan dianggap factor yang bisa mempengaruhi kelanggengan keluarga. Jika seorang suami ,beristerikan wanita cantik, ia kemungkinannya kecil untuk berpaling dari isterinya. Walau kecantikan itu tidak selamanya berpihak pada sang isteri. Oleh karena itu, ketika si isteri sudah kehilangan kecantikannya, jika diperkokoh oleh niat ibadah pada saat pernikahan, ia akan tetap menjaga keutuhan keluarga.
Tiga criteria tersebut, seyogyanya tetap dipertahankan oleh kaum ibu sampai saat ini. Namun tentu saja, yang terpenting adalah kembali ke tujuan semula bahwa pernikahan itu memiliki nilai ibadah. Ketika hal ini dijadikan dasar dalam membangun keluarga yang utuh, maka kecantikan, dan harta kekayaan tidak lagi berpengaruh terhadap keluarga.
Kebahagiaan keluarga
Seorang isteri merupakan teman dan sahabat bagi suami dalam rumah tangga. Ia juga pembimbing bagi anak-anaknya, sekaligus bertanggungjawab untuk mengurus dan mendidik mereka. Peranan wanita, baik sebagai isteri atau sebagai ibu sangat besar pengaruhnya terhadap kondisi rumah tangga.
Sebagai isteri, ia berkewajiban taat kepada suaminya, di kala senang atau di kala susah. Ketaatan kepada suaminya harus melebihi ketaatan kepada kedua orang tuanya sendiri. Ketaatan adalah cermin kesalehannya yang dapat membangun keutuhan keluarga.
Nabi bersabda ;
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الدُّنْيَا كُلَّهَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ (رواه النسائ)
Dari Abdulah ibn Amr ibn Ash, bahwa Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya semua (isi) dunia ini adalah benda yang menyenangkan, dan kesenangan yang terbaik adalah isteri yang solehah” (HR. Nasa’i)
عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ :قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ (رواه النسائ)
Dari Sa’id al-Maqburi dari Abi Hurairah berkata : Rasulullah SAW ditanya “Isteri yang bagaimana yang terbaik?”. Beliau menjawab “ (Yaitu wanita) yang membuat suami bahagia apabila dilihat, dan taat kepadanya bila diperintah, dan ia (siteri) tidak akan menolah (menyerahkan) dirinya, dan hartanya terhadap apa yang tidak ia sukai (HR. Nasa’i)
Sebagai ibu, seorang wanita berkewajiban merawat anak-anaknya, baik dalam kesehatan, pendidikan, dan hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhannya. Pepatah Arab menyatakan “ الام مدرسة الاولى لاولاده “ (ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya). Artinya, segala perkembangan fisik dan psikis anak sangat tergantung pada ibunya di rumah. Bahkan diawal kehidupan anak, ibulah orang yang pertama kali dilihat olehnya. Oleh karena itu, betapapun sibuknya seorang ibu sebagai wanita karir misalnya, ia harus memperhatikan anaknya. Firman Allah ;
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; (QS. At-Tahrim;6)
Islam mengajarkan bahwa anak adalah amanah dari Allah SWT yang harus dibina, dipelihara, dan diurus secara seksama serta sempurna agar kelak menjadi insan kamil, berguna bagi agama, bangsa dan negara, dan secara khusus dapat menjadi pelipur lara orang tua dan penenang hati ayah dan bunda serta kebanggaan keluarga. Semua pengharapan yang positif dari anak tersebut tidaklah dapat terpenuhi tanpa adanya bimbingan yang memadai, selaras dan seimbang dengan tuntunan dan kebutuhan fitrah manusia secara kodrati. Dan semua itu tidak akan didapatkan secara sempurna kecuali pada ajaran Islam, karena bersumber pada wahyu illahi yang paling mengerti tentang hakikat manusia sebagai makhluq ciptaan-Nya
Sebagai karunia, anak menjadi ujian bagi kedua orang tua. Ujian tidak harus selalu bermakna negative, sebab dibalik ujian sesungguhnya mengandung hikmah. Antara lain, melalui anak, kita banyak mengerti tentang kejiwaan (psikologi) anak yang dapat membangun kedewasaan dan pengalaman seorang ibu. Selain itu, Allah juga menawarkan pahala kepada orang tua yang diuji lewat anak. Sebagaimana firman Allah ;
Dan Ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.(QS. Al-Anfal:28)
Memperkokoh Bahtera Rumah Tangga
Kehidupan sebuah rumah tangga dapat diumpamakan sebagai sebuah bahtera. Keselamatan bahtera itu sangat tergantung dari kewaspadaan para penumpang diatasnya. Rasulullah saw memberikan gambaran bagaimana seharusnya hidup bersama dalam berumah tangga.
Rasulullah saw bersabda : „Perumpamaan orang-orang yang menjaga batas-batas Allah swt dengan mereka yang melanggarnya, bagaikan satu kaum yang menaiki sebuah bahtera. Sebagian mendapat tempat di atas dan sebagian lagi di bawah. Mereka yang di bawah jika ingin air (terpaksa) melewati orang-orang yang di atas, lalu berkata, „Seandainya kita lubangi (bahtera ini) untuk mendapatkan air, tentu kita tidak lagi mengganggu orang-orang yang di atas." Jika orang yang diatas membiarkan keinginan mereka yang di bawah, tentu semua akan binasa. Jika mereka menghalanginya, mereka akan selamat dan selamatlah semuanya." (HR Bukhari dan Tarmidzi)
Dalam mengarungi samudra kehidupan kadang bahtera itu miring ke kiri dan ke kanan. Satu saat tenang, dan di saat lain dihempas gelombang. Untuk itulah sejak awal bahtera harus dipersiapkan dan diperkuat di segala sisinya. Caranya ialah dengan selalu menjaga langkah agar tidak keluar dari tujuan asasinya serta selalu menjaga keutuhan dan kesejahteraan keluarga.
Musthafa Masyur mengungkapkan bahwa kesejahteraan keluarga bukanlah terletak pada aspek fisik materi, tapi keterikatan anggota keluarga dengan aqidah, ibadah, akhlaq dan pergaulan Islam, hingga seluruh kehidupan terwarnai dengan identitas Islam secara utuh. Bagaimana kehidupan yang islami, dapat kita lihat dari suri tauladan kita Rasulullah saw. Karena Allah swt sendiri telah menyatakan dalam Al-Qur'an :
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS.33:21)
Ayat di atas menginformasikan bahwa Rasulullah SAW adalah seorang manusia pilihan yang harus dijadikan model dalam membangun keluarga, dan masyarakatnya. Kemuliaan prilakunya itu telah diprasastikan dalam sejarah kehidupannya lewat tarbiyah (pendidikan) yang ditanamkan kepada isteri-isterinya, sahabat-sahabatnya, serta informasi sunnahnya kepada kita. Pesan-pesan yang disampaikan kepada kita untuk membangun keluarga islami dan sakinah, antara lain;
1. Menciptakan Rumah sebagai surga bagi keluarga
Rumah tidak hanya sekedar sebuah tempat tinggal, tapi hendaknya rumah menjadi surga bagi keluarga. Rumah yang surgawi tidak berarti sebuah rumah yang mewah dan penuh dengan kemewahan. Rumah surgawi adalah rumah yang di dalamnya terdapat suasana harmonis, aman, dan menyenangkan lahir dan batin. Setiap anggotanya senantiasa bertutur kata yang baik, sikap yang santun, pemurah, saling sapa, dan saling menasehati.
Suasana surgawi dalam sebuah keluarga tercermin dari sikap masing-masing anggota keluarga akan tanggungjawabnya, saling menghormati, saling membantu kesulitan anggota keluarga, dan saling berbagi kesenangan antar mereka.
2. Membangun kecerdasan keluarga
Semua anggota keluarga saling mengisi dan memperbaiki kekurangan dan kelemahan yang ada, bukan hanya sekedar memaklumi. Faktor penunjang yang penting adalah membangun kecerdasan anggota keluarganya. Seperti, suami harus belajar dari pengalaman dan pengetahuan isteri, isteri juga belajar dari pengalaman dan pengetahuan suami, ibu dan ayah juga harus belajar pada pengetahuan anak-anaknya, anak-anak juga harus belajar kepada kedua orang tuanya. Jika masing-masing anggota keluarga mau belajar kepada yang lainnya, maka akan lahir sebuah keluarga yang cerdas, transparan, dan memahami persoalan anggota lainnya.
Sikap tersebut merupakan proses pendewasaan pengalaman, dan perbendaharaan keilmuan bagi keluarga. Hal ini pada hakikatnya membangun komunikasi antar semua anggota yang dapat melahirkan keluarga sakinah.
3. Menghiasi rumah dengan shalat, doa, tilawah Al-Qur’an dan salam
Rumah tidak hanya sekedar tempat tinggal keluarga, tapi hendaknya rumah menjadi sumber keberkahan bagi keluarga. Oleh karena itu, sebagai pendekatannya adalah menghiasi rumah dengan salat malam, berdoa dan zikir, membaca al-Qur’an di setiap kesempatan, serta mengucapankan “Assalamu ‘alaikum” ketika akan pergi atau tiba kepada keluarga yang tinggal di rumah.
Suasana ubudiyah di dalam rumah, dan pamit dengan ucapan salam kepada keluarga dapat melahirkan keutuhan keluarga. Tentu saja, semua amalan tersebut memiliki keberkahan bagi keluarga dan terasa indah, nikmat serta bahagia jika dilakukan secara kontinyu (terus menerus).
4. Hindari kata-kata talak, atau menuntut talak
Banyak masalah yang dihadapi oleh setiap keluarga yang menuntut kesabaran dan keikhlasan mengatasinya. Kerena kesabaran dan keikhlasan merupakan kunci keutuhan keluarga, betapa pun kondisi yang dihadapi terasa berat. Masalah yang sering kali muncul adalah cemburu, selingkuh, akhlak yang buruk, ekonomi lemah (kemiskinan) dan sebagainya.
Masalah-masalah tersebut, kemudian melahirkan emosi (marah) kepada anggota yang dianggap bersalah. Dan pada akhirnya terjadi perceraian. Betapa pun persoalan yang terjadi dalam keluarga, suami tidak perlu mengeluarkan kata-kata “Talak” kepada isterinya, atau isterinya menuntut talak kepada suaminya. Sebab dalam kondisi marah sekalipun, talak yang diucapkan oleh suami kepada isterinya dapat menjatuhkan status isteri sebagai orang yang tertalak (dicerai). Demikian pula, bila si isteri meminta talak, lalu dijawab dengan kata “Ya”, maka jatuhlah talak. Akibat dari perceraian (talak) itu, sesungguhnya akan merugikan semua pihak, khususnya anak-anak yang akan kehilangan kasih sayang.
Talak, menurut Islam, sesuatu yang halal tapi tidak disukai Allah. Talak memang dibenarkan, jika keluarga sudah tidak mampu lagi diperbaiki atau tidak ada lagi kemaslahatan untuk dipertahankan, karena alasan-alasan yang secara syar’I dibenarkan. Oleh karena itu, upaya untuk membangun keharmonisan harus dipertahankan, agar tidak terjadi perceraian.
Penutup
Setiap manusia menghendaki kebahagiaan lahir – batin, duniawi dan ukhrowi. Untuk mewujudkan kebahagiaan tersebut, Islam telah banyak mengajarkan kepada kita tentang nilai-nilai kehidupan, baik dalam kontek keluarga atau social kemasyarakatan. Namun, semua persoalan itu sangat tergantung kepada diri kita sendiri. Oleh karena itu, dalam keterikatannya dengan pihak lain; baik keluarga atau masyarakat, harus dibangun kesadaran moral dan intelektualitas yang integral (menyatu antara amal dan ilmu).
Kaitannya dengan membangun keluarga islami, pengertian akan rasa tanggung jawab dalam keluarga, kesalehan dalam sikap; ucapan dan perbuatan, dan toleransi terhadap anggota keluarga, merupakan cahaya iman yang harus dipertahankan.